DPRD Jatim Sahkan Raperda tentang Perlindungan Obat Tradisional Jadi Perda

DPRD Jatim Sahkan Raperda tentang Perlindungan Obat Tradisional Jadi Perda
 Suasana rapat paripurna pengesahan Raperda Perlindungan Obat Tradisional menjadi perda dengan protokol kesehatan, yakni physical distancing. foto : didi rosadi

SURABAYA, HARIANBANGSA.net - Setelah melalui pembahasan yang cukup panjang, Raperda tentang Perlindungan Obat Tradisional akhirnya dapat diterima oleh fraksi-fraksi DPRD Jatim. Dengan didahului melalui pandangan akhir fraksi dan selanjutnya disahkan menjadi Perda oleh pimpinan rapat paripurna DPRD Jatim, Senin (12/10).

Pengesahan Raperda Perlindungan Obat Tradisional menjadi peraturan daerah (Perda) itu terasa istimewa. Karena bertepatan dengan Hari Jadi Provinsi Jawa Timur ke-75.

Kendati demikian sejumlah fraksi juga memberikan beberapa saran, harapan dan catatan. Diantaranya, Fraksi PPP DPRD Jatim melalui juru bicaranya Zeiniye SAg. Ia mengatakan bahwa perlindungan obat tradisional merupakan bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b UU No.2 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Oleh karena itu, FPPP mendesak kepada Gubernur Jatim agar Perda ini segera diundangkan dalam lembaran daerah Provinsi Jatim dan diimplementasikan secepatnya dalam bentuk Pergub Jatim tentang Perlindungan Obat Tradisional,”kata Zaeiniye di DPRD Jatim.

FPPP juga mengingatkan kepada Pemprov Jatim dalam Perda ini wewenang daerah provinsi adalah melakukan pemberdayaan usaha kecil yang dilakukan melalui pendataan kemitraan, kemudahan perijinan, penguatan kelembagaan dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.

Sementara untuk pemberdayaan usaha mikro menjadi wewenang daerah kabupaten/kota dan untuk pemberdayaan usaha menengah menjadi wewenang pemerintah pusat.

”Dengan demikian pemerintah provinsi hanya berwenang menerbitkan izin Uaha Kecil Obat Tradisional (UKOT),”tegasnya.

Mengingat, obat tradisional merupakan warisan budaya yang secara turun temurun dipergunakan untuk kegiatan promotif, preventif, kuratif dan atau rehabilitatif sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan dan dilindungi.

Apalagi wilayah Jatim memiliki sumber daya obat tradisional yang besar sehingga FPPP berharap potens ini dimaksimalkan dan sesegera mungkin dapat dimanfaatkan pada pelayanan kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Terakhir, perda tentang Perlindungan Obat Tradisoonal ini merupakan instrumen hukum dalam pemanfaatan obat tradisional pada pelayanan kesehatan tradisional. Maka dalam masa transisi sebelum pemberlakuan Perda hendaknya Pemprov atau dinas terkait segera melakukan pendataan dan menginventarisir ulang para pelaku usaha kecil yang melakukan pemanfaatan jenis obat tradisional tanpa izin sebelum dikenakan sanksi administratif dan atau pidana.

Masih di tempat yang sama, jubir Fraksi Partai Gerindra Hadi Dediyansyah SPd, MHum mengatakan Raperda tentang Perlindungan Obat Tradisional merupakan ijtihad medis dari hulu hingga hilir yang harus diseriusi.

Karena itu, pihaknya memandang wilayah Jatim memiliki produksi tanaman biofarmaka sebagai bahan baku obat tradisional yangsangat besarserta memiliki Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) serta Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) yang sangat banyak.

 “Hemat kami, penting untuk merevitalisasi budaya penggunaan obat tradisional dengan memperbanyak edukasi tentanng budi daya, perbaikan dan pemanfaatan obat tradisional, baik di dalam keluarga dan di lembaga formal yang bisa diintegrasi dengan kurukulum yang relevan. Untuk itu butuh peraturan yang mendukung hal tersebut,”jelas Hadi.

Selain itu, kata wakil ketua Komisi A DPRD Jatim itu, sebagai bangsa yang melimpah akan anugerah tumbuh-tumbuhan herbal, maka pemerintah dan semua pihak harus terdorong untuk melakukan perlindungan, peletarian, pengembangan ddan pemanfaatan secara berkelanjutan dan modernisasi.

Artinya, bentuk kongkret dan turunan dari ini semua harus diiapkan para petani herbal yang handal, rumah sakit dengan layanan herbal, dokter specialis herbal.

“Kurang lebih pemerintah harus mempersiapkan dan menfasilitasi pusat observatorium herbal, sekolah herbal atau fakultas/prodi khusus yang mengkaji tentang herbal di perguruan tinggi, sehingga dibutuhkan formulasi regulasi yang memadai,”harap politisi asal Surabaya.

Gubernur Khofifah menandatangani berita acara pengesahan Raperda Perlindungan Obat Tradisional menjadi perda. Dengan disaksikan pimpinan rapat, Anik Maslachah dan pimpinan DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak, sertaserta seluruh peserta rapat. foto: didi rosadi/HARIAN BANGSA

Sementara itu, Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa dalam sambutannya menyatakan bahwa bahan baku obat tradisional di Indonesia sangat melimpah. Dari total 40 ribu jenis tumbuh-tumbuhan obat yang dikenal di dunia, 30 ribuan disinyalir berada di Indonesia.

Jumlah tersebut, kata Khofifah mewakili 90% dari tanaman obat yang ada di wilayah Asia. Dari jumlah tersebut, 25% diantaranya atau sekitar 7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1200 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu.

Khofifah melanjutkan, Indonesia memang dikenal dengan julukan Live Laboratory. Meskipun memiliki kurang lebih 90% total jenis tumbuh-tumbuhan berkhasiat jamu, namun hanya terdapat sekitar 9 ribu spesies tanaman yang diduga memiliki khasiat obat.

“Dari jumlah tersebut baru sekitar 5% yang dimanfaatkan sebagai bahan fitofarmaka sedangkan 1000-an jenis tanaman sudah dimanfaatkan untuk bahan baku jamu,”ungkap gubernur perempuan pertama di Jatim ini.

Tanaman obat di Indonesia yang dikategorikan sebagai tanaman biofarmaka mencakup 15 jenis tanaman, yakni jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dlingo/dringo, kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya.

Berdasarkan data statistik hortikultura tahun 2016, total produksi tanaman biofarmaka di Indonesia sebesar 595.423.212 kilogram. Sedangkan komoditas yang memberi kontribusi produksi terbesar terhadap total tanaman biofarmaka yaitu jahe (37,98%), kunyit (18,82%), kapulaga (1,22%), laos/lengkuas (10,50%) dan kencur (6,33%), kemudian tanaman biofarmaka lainnya produksinya masih dibawah 5%.

“Jatim menyumbang prooduksi tanaman biofarmaka nasional yang sangat besar. Misal, jahe (26,7%), kunyit (5,6%) lengkuas/laos (11,5%) dan kencur (9,8%) srerta memiliki IOT dan IEBA sebesar 14% dari nasional. Serta UKOT dan UMOT sebesar 27,3% dari nasional,”beber Khofifah.

Perda tentang Perlindungan Obat Tradisionalmemiliki tujuan untuk menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat tradisional di daerah.

Mengembangkan tanaman obat, hewan, bahan baku obat tradisional dan produk jadi di daerah. Meningkatkan pemanfaatan obat tradisional untuk upaya promotif, preventif, kuratif dan atau rehabilitatif di daerah.

Kemudian mengurangi ketergantungan pada penggunaan obat sintetis dalam peayanan kesehatan di daerah. Meningkatkan kesejahteraan bagi petani tanaman obat, peternak dan pelaku usaha, serta menjaga dan melestarkan warisan budaya.

“Besar harapan kami dalam tataran implementatisi tujuan dimaksud dapat diwujudkan serta benar-benar dapat memberikan sumbangsih tidak saja bagi kesehatan masyaraat tetapi juga menggerakkan roda perekonomian masyarakat Jatim, apalagi dalam maa pandemi covid-19 yang belum diketahuikapan akan berakhir,” harap Khofifah.

Upaya lain yang ditempuh untuk menjadikan obat tradisional dapat dan mampu diperhitungkan perannya dalam dunia pengibatan modern adalah bahwa obat herbal terstandar dan atau fitofarmaka telah dihasilkan di Jatim akan dikoordinaksikan dengan pemerintah pusat. Setelah itu dimasukkan dalam formularium nasonal dan disinergikan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggrakan oleh BPJS.

 “Hal tersebut merupakan salah satu terobosan yang menjadi konsen dari Pemprov Jatim dan diharapkan dalam segera terealisasi,” jelas Gubernur Khofifah.

Mantan Menteri Sosial ini juga mengapresiasi sebesar-sebesarnya kepada DPRD Jatim, khususnya Komisi E selaku komisi pemrakarsa serta pembahas raperda Perlindungan Obat Tradisional hingga siap ditetapkan menjadi perda. “Semoga kerja keras kita semua dapat membuahkan hasil yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat Jatim. Dan kepada semua pihak yang terlibat semoga kerjasama ini senantiasa terjalin secara baik di masa-masa yang akan datang,” pungkas Khofifah. (mdr/ns)