Digitalisasi KBI dalam Menghadapi Disrupsi Teknologi
Keberadaan teknologi dan digitalisasi dunia usaha tak bisa dimungkiri. Kemajuan teknologi dan digitalisasi menjadikan pekerjaan lebih mudah dan efisien.
Surabaya, HARIAN BANGSA.net – Keberadaan teknologi dan digitalisasi dunia usaha tak bisa dimungkiri. Kemajuan teknologi dan digitalisasi menjadikan pekerjaan lebih mudah dan efisien.
Bahkan, Menteri BUMN Erick Tohir mendorong perusahaan BUMN untuk menjadikan digitalisasi dan inovasi sebagai fondasi dalam menghadapi persaingan. Kementerian ini pun mengkhawatirkan BUMN dapat mati karena tidak mampu melakukan digitalisasi.
Pengamat BUMN dari Lembaga Manajemen Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, disrupsi teknologi tidak bisa dihindari. Mau tidak mau BUMN harus melakukan langkah adaptasi serta transformasi menuju digitalisasi.
“Sebagian BUMN saya kira sudah adaptasi dengan perubahan radikal akibat disrupsi teknologi tersebut. Artinya mereka memang sudah mengaplikasikan digital age dalam operasional perusahaan, serta people mindset dalam organisasi,” katanya.
Dari proses digitalisasi tersebut yang lebih penting adalah adanya transformasi budaya di BUMN. Transformasi budaya dibutukan untuk menuju perusahaan negara yang memiliki digital mindset “budaya yang kuat”.
Beberapa BUMN pun telah melakukan proses digitalisasi bisnis. Salah satunya adalah PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) atau KBI. BUMN yang memiliki lini bisnis sebagai Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian Transaksi di Perdagangan Berjangka Komoditi dan Pasar Fisik, serta Pusat Registrasi Resi Gudang ini, telah menjalankan digitalisasi sejak beberapa waktu yang lalu. KBI telah melakukan inovasi, digitalisasi, dan penggunaan teknologi dalam kegiatannya.
Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) Fajar Wibhiyadi mengatakan, bagi KBI, digitalisasi tentunya menjadi salah satu fokusnya dalam proses transformasi korporasi. Karena kita tahu, gelombang disrupsi teknologi hanya bisa dihadapi dengan transformasi dan digitalisasi. Pola kehidupan masyarakat sudah berubah ke arah digital.
“Terkait digitalisasi ini, KBI sudah menyiapkan road map jangka panjang. Ke depan diharapkan KBI akan bertransformasi dari perusahaan kliring yang menggunakan teknologi digital, menjadi perusahaan digital yang memiliki lisensi kliring,” jelas Fajar Wibhiyadi.
Terkait digitalisasi, yang menjadi tantangan KBI bukan hanya digitalisasi dalam proses bisnisnya. Bukan ke perangkat digitalnya. Namun juga ke bagaimana karyawan memiliki mindset digital. Penekanannya lebih ke bagaimana karyawan memiliki pola pikir digital.
“Digitalisasi yang dilakukan di KBI tidak hanya untuk layanan eksternal, yaitu untuk para pemangku kepentingan, tapi juga digitalisasi dalam opersional internal,” ungkap Fajar Wibhiyadi.
Dalam hal layanan untuk pemangku kepentingan, terkait peran KBI sebagai lembaga kliring, saat ini semua laporan terkait kegiatan kliring penjaminan dan penyelesaian transaksi, sudah dilakuan secara digital. Untuk Sistem Resi Gudang, KBI belum lama ini telah memperbarui aplikasi registrasi dengan mengaplikasikan teknologi blockchain dan smart contract.
Sedangkan dari sisi internal, berbagai program digitalisasi pun telah dan sedang dilakukan BUMN ini. Seperti apliaksi e-nota, Human Resources Information System (HRIS), serta sistem internal yang terotomasi.
Memanfaatkan teknologi blockchain dalam aplikasi pusat registrasi resi gudang, sudah dirasakan oleh para stakeholder dalam ekosistem ini. Hal ini diungkapkan Direktur Utama KBI Fajar Wibhiyadi disela-sela webinar tentang karbon trading yang diselenggarakan KBI e-ducentre di Jakarta, Selasa, 10 Agustus 2021 lalu.
Dengan memanfaatkan teknologi blockchain pada ekosistem perdagangan karbon, hal ini akan dapat memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon. Hal ini akan memastikan tidak terjadinya double accounting dalam proses pencatatannya.
Keberadaan lembaga kliring dalam perdagangan karbon sangat penting dalam mendukung skema transaksi perdagangan karbon. Lembaga kliring yang memiliki teknologi yang berbasis blockchain, akan mampu memberikan keamanan bertransaksi, serta menjamin integritas agregasi emisi selama transaksi kredit berlangsung oleh pelaku.
Fajar Wibhiyadi mengatakan, sebagai BUMN, tentunya pihaknya bisa memastikan bahwa proses kegiatan kliring yang berjalan telah sesuai dengan regulasi yang ada. “Selain itu, dalam hal pengembangan teknologi, ke depan kami juga akan terus menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk kegiatan kliring tersebut,” jelasnya.
Selain itu, lembaga kliring yang mengadopsi teknologi ini akan mampu mendukung konsistensi dalam menerapkaan prinsip clarity, transparency dan understanding (CTU) dalam registry karbon. Sehingga mampu mengeliminasi double accounting atau double claim.
Peran sebagai lembaga kliring bukan merupakan hal baru bagi KBI. Sebelumnya, BUMN ini telah berpengalaman dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kliring penjaminan dan penyelesaian transaksi di perdagangan berjangka komoditi serta lembaga kliring di pasar fisik komoditas di Bursa Berjangka Jakarta.
Perdagangan komoditas karbon sendiri merupakan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon. Perdagangan karbon pada prinsipnya sama dengan transaksi di perdagangan komoditas yang ada saat ini. Yang berbeda adalah komoditasnya, yaitu emisi karbon.
Adapun emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrat Oksida (N2O), Hidroflurokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), serta Sulfur Heksafluorida (SF6). Dalam perdagangannya, satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan 1 ton karbon dioksida.
Di Indonesia, implementasi crediting telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Dengan CDM ini, memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara-negara maju.(rd)