Usulkan Remaja Pelaku Tawuran Dibina di RPA
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mengusulkan pendekatan baru terhadap penanganan remaja pelaku kekerasan.

Surabaya, HARIANBANGSA.net - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mengusulkan pendekatan baru terhadap penanganan remaja pelaku kekerasan. Pendekatan itu melalui pembinaan di Rumah Pemulihan Anak (RPA) yang berbasis rehabilitasi dan pendidikan karakter.
Usulan ini disampaikan oleh Pengurus LPA Jawa Timur sekaligus pemerhati kebijakan sosial, M Isa Ansori. Hal ini menyusul kasus tawuran antar kelompok remaja yang terjadi di kawasan Tenggumung Karya Lor, Semampir, Surabaya, pada Senin (7/4) dini hari lalu.
"Peristiwa ini harus dipahami sebagai alarm bahwa terjadi krisis moral pada anak-anak kita terutama mereka yang beranjak menjadi remaja," ujar M Isa Ansori dalam keterangannya, Senin (5/5).
Isa menilai, situasi ini tak lagi bisa dianggap sebagai kasus insidental. Menurutnya, kekerasan oleh anak terhadap orang tua, tawuran, hingga penolakan terhadap sekolah merupakan gejala darurat sosial yang memerlukan respons negara secara lebih cepat dan aktif. "Fenomena ini tidak bisa dibaca bahwa ini hanya tanggung jawab orang tua saja, tetapi juga ada tanggung jawab yang lain yaitu sekolah, masyarakat dan negara," tegasnya.
Dalam konteks perlindungan anak, Isa menegaskan bahwa negara seharusnya tidak menunggu laporan, melainkan proaktif membaca data sosial untuk mendeteksi potensi kekerasan sejak dini. "Sebagai entitas yang memiliki akses ke big data sosial, termasuk catatan kriminal, pendidikan, hingga pengaduan masyarakat, negara seharusnya bisa melakukan deteksi dini dan pencegahan," katanya.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Isa menyebut bahwa negara memiliki dasar hukum untuk mengambil alih pengasuhan anak dalam kondisi darurat. Namun, ia menekankan bahwa pendekatan ini bukan bentuk penghukuman, melainkan tindakan perlindungan dan pemulihan.
Isa mendorong hadirnya Rumah Pemulihan Anak (RPA) sebagai solusi yang berbasis rehabilitasi sosial dan pendidikan alternatif. Menurut dia, lembaga ini memungkinkan remaja pelaku kekerasan menjalani pemulihan dalam lingkungan yang aman dan ramah anak.
Melalui RPA, kata dia, anak-anak akan mendapatkan pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, serta pendidikan berbasis karakter dan vokasi. Isa pun menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mewujudkan lembaga ini.
"RPA bisa didirikan melalui kerja sama lintas sektor, dinas sosial, pendidikan, kepolisian, dan komunitas pemerhati anak. Penempatan anak dalam lembaga ini dapat melalui rekomendasi psikolog, keputusan pengadilan, atau asesmen sosial dari pemerintah daerah," paparnya.
Sebagai Kota Layak Anak (KLA), Isa menilai jika Surabaya memiliki infrastruktur sosial dan komitmen kebijakan yang memungkinkan realisasi pilot project RPA. Berbagai fasilitas seperti sekolah alternatif, rumah singgah, hingga lembaga konseling dapat menjadi pondasi awal.
"Piloting project ini diharapkan tidak hanya menangani anak-anak yang terkategori miskin ekstrem dan tidak mempunyai akses pendidikan yang baik, tapi juga mampu menangani anak-anak dalam kondisi rawan kekerasan dan kerentanan sosial," imbuhnya.
Isa berpandangan bahwa program perlindungan anak yang telah berjalan di Surabaya, selama ini masih kerap ragu mengambil langkah tegas karena khawatir dianggap sebagai kekerasan. Padahal, ketegasan diperlukan dalam situasi tertentu untuk melindungi anak maupun orang di sekitarnya. "Sudah saatnya ketegasan perlu dilakukan bagi anak-anak yang perilakunya sudah membahayakan dirinya, orang lain dan keluarganya," tegasnya.(ari/rd)