Kemendag: Ekspor Cangkang Sawit ke Jepang Raih Transaksi USD 12 Juta

Upaya meningkatkan ekspor nasional hingga menjelang tutup tahun 2021 terus dilakukan Kementerian Perdagangan.

Kemendag: Ekspor Cangkang Sawit  ke Jepang Raih Transaksi USD 12 Juta
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Didi Sumedi.

Jakarta, HARIANBANGSA.net - Upaya meningkatkan ekspor nasional hingga menjelang tutup tahun 2021  terus dilakukan Kementerian Perdagangan. Kali ini ekspor cangkang sawit berhasil menembus pasar Jepang dengan nilai transaksi sebesar USD 12 juta per tahun.  Jepang dinilai sebagai pasar potensial bagi produk cangkang sawit nasional. 

“Untuk menjaga surplus neraca perdagangan, pemerintah terus berupaya mengembangkan produk dan komoditas berpotensi ekspor dengan permintaan dan nilai jual yang tinggi di pasar global. Salah satu komoditas tersebut adalah cangkang kelapa sawit,” ujar Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Didi Sumedi.

Ekspor cangkang sawit ini merupakan hasil one-on-one business matching antara pelaku usaha cangkang sawit Indonesia dan pelaku usaha industri biomassa Jepang yang terlaksana di Pekanbaru, Riau pada Rabu–Kamis (24–25/11) lalu. Pertemuan bisnis difasilitasi Kementerian Perdagangan bersama Japan External Trade Organization (Jetro) Jakarta dan Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit (Apcasi).

Jepang saat ini merupakan pasar terbesar bagi cangkang sawit. Diperkirakan akan terus menjadi pasar utama untuk komoditas tersebut. Hal ini disebabkan oleh kebijakan energi Jepang yang menetapkan 24 persen pemenuhan energi di Jepang pada 2030 harus berasal dari energi baru dan terbarukan (renewable energy).

Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kemendag Marolop Nainggolan menyampaikan, Kemendag akan terus mendorong peningkatan ekspor cangkang sawit ke Jepang lewat kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag bersama Japan External Trade Organization berupaya mempertahankan dan meningkatkan ekspor cangkang sawit ke Jepang. Salah satu bentuk kerja sama tersebut melalui kegiatan one-on-one business matching kali ini,” ungkap Marolop.

Marolop menambahkan, Kemendag mengundang para calon pembeli untuk meninjau langsung gudang dan pabrik pengolahan agar semakin yakin dengan kualitas cangkang sawit Indonesia.

“Selain melalui pertemuan bisnis, kami juga mengajak pelaku usaha Jepang untuk mengunjungi stockpile dan pabrik penghasil cangkang sawit di daerah Siak dan Dumai. Kami harap calon mitra bisnis dari Jepang meyakini besarnya potensi cangkang kelapa sawit Indonesia dan berminat untuk menjalin kerja sama bisnis jangka panjang dengan pelaku usaha lokal,” kata Marolop.

Business matching dengan pelaku usaha Jepang sebelumnya pada April 2021 yang lalu telah berhasil menelurkan pengiriman cangkang sawit oleh PT Internasional Green Energy sebanyak 10 ribu ton dan PT Prima Khatulistiwa Sinergi sebanyak 11 ribu ton pada awal November 2021.

Hal ini untuk memenuhi kontrak pengiriman per bulan secara kontinu ke pasar Jepang. Rencananya pada awal Desember 2021, akan dikirim cangkang sawit sebanyak 20 ribu ton oleh PT Jatim Propertindo untuk memenuhi kontrak yang serupa dengan perusahaan di Jepang.

Produksi cangkang sawit dunia sebagian besar berada di Indonesia. Ekspor produk cangkang sawit Indonesia pada Januari–September 2021 telah mencapai USD 286 juta, atau meningkat 27,01 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020.

Negara tujuan ekspor utama produk cangkang sawit Indonesia adalah Jepang dengan pangsa sebesar 84,5 persen dari total ekspor cangkang sawit Indonesia, diikuti Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan India. Pasokan cangkang sawit di Indonesia berasal dari Jambi, Riau, Sumatra Barat, Kalimatan Tengah, dan Sumatra Utara.

Kompetitor utama Indonesia untuk produk cangkang sawit adalah Malaysia dan Thailand. Namun demikian, eksportir cangkang sawit Indonesia menghadapi kompetisi yang relatif ketat dengan eksportir Malaysia. Harga cangkang sawit di Malaysia relatif lebih murah dan stabil. Sedangkan harga di Indonesia fluktuatif dan cenderung naik akibat bea keluar dan pungutan ekspor. Serta kurangnya infrastruktur pendukung.(rd)