Reformasi Sektor Keamanan Alami Kemunduran Serius

Setelah genap dua dasawarsa pemisahan TNI-Polri melalui TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran paling serius.

Reformasi Sektor Keamanan Alami Kemunduran Serius
Ketua SETARA Institute Hendardi.

Jakarta, HARIAN BANGSA.net - Setelah genap dua dasawarsa pemisahan TNI-Polri melalui TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran paling serius.

“Benar, agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran paling serius. Apalagi jika Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme disahkan menjadi perpres sebagai turunan dari pasal 43 l UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” tegas Ketua SETARA Institute Hendardi, Senin (3/8), dalam siaran persnya.

Dia juga menyebutkan, sebelumnya, pelibatan TNI dalam jabatan-jabatan sipil dan impunitas dari tuduhan pelanggaran HAM berat dalam banyak kasus, juga menjadi penanda kemunduran reformasi sektor keamanan yang mencemaskan. 

Hendari mengatakan, alih-alih menuntaskan reformasi sektor keamanan, seperti penghapusan komando teritorial, perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan membentuk UU Perbantuan Militer sebagai dasar pelibatan TNI dalam kehidupan sipil, kepemimpinan Jokowi justru terus-menerus memanjakan TNI dengan berbagai privilege pelibatan dalam berbagai kehidupan sipil tanpa batas-batas yang jelas.

Sebagaimana pelibatan tanpa batas dan tanpa akuntabilitas dalam rancana Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme, yang menjadikan TNI leluasa menangkal, menindak, dan memulihkan tindak pidana terorisme, bebas mengakses APBD atas nama terorisme. Termasuk bebas dari tuntutan unfair trial dan praperadilan manakala TNI keliru dalam melakukan penindakan tindakan terorisme.  

Menurutnya, TNI adalah alat pertahanan yang kehadirannya dalam ranah sipil dan penegakan hukum hanya diperkenankan atas dasar kebijakan politik negara, bersifat sementara, ada batas waktu, kekhususan jenis penugasan, dan disertai mekanisme akuntabilitas yang presisi.

“Sementara dalam desain pelibatan TNI dalam memberantas tindak pidana terorisme, sebagaimana draft rancangan perpres, pelibatan itu bersifat permanen dan melampaui tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP). Semestinya hanya ditujukan pada level penindakan dan pada objek tertentu, yang Polri sebagai unsur utama dalam criminal justice system sudah tidak mampu menangani tindakan terorisme tersebut (beyond the police capacity),” jelasnya. 

 UU Nomor 5 Tahun 2018 tersebut mengedepankan pendekatan penegakan hukum (criminal justice system). Sehingga seluruh unsur yang terlibat dalam penindakan harus dapat melakukan penyesuaian dengan sistem tersebut. Terutama dalam hal pertanggungjawaban operasi dan perlindungan HAM.

“Pelibatan TNI sesungguhnya dimungkinkan pada tingkat tertentu. Yakni eskalasi ancaman masuk dalam lingkup ancaman militer, dan dijalankan dengan perintah otoritas politik. Karenanya, diperlukan definisi yang jelas tentang “Aksi Terorisme” yang menjadi tupoksi TNI dan “Tindak Pidana Terorisme” yang menjadi ranah aparat penegak hukum agar tidak terjadi potensi tumpang tindih peran,” ungkapnya lebih lanjut. 

Menurut Hendardi, klaim pemerintah yang disampaikan melalui Menkopolhukam Mahfud MD, yang menyatakan bahwa rancangan perpres tersebut sudah disetujui pemerintah dan dikirimkan ke DPR pada 29 Juli 2020, adalah bentuk keengganan pemerintah membela mandat reformasi TNI. Sehingga dengan mudah meloloskan kehendak politik TNI memasuki kehidupan sipil secara sistematis.

“Mahfud MD tampaknya kurang cermat bahwa pembentukan rancangan perpres ini memuat banyak norma baru yang melampaui mandat pasal 43 I yang menjadi dasar hukum yang memerintahkan, menjadikan rancangan perpres tersebut mutlak membuka ruang partisipasi publik. Sangat perlu dibahas secara terbuka dan tidak dilakukan dengan tergesa-gesa,” kata Hindari.

Bahkan, tambah Hindari, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme pun memandatkan rancangan perpres tersebut dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan DPR.

“Mengapa rancangan perpres ini membutuhkan afirmasi dari DPR? Karena rancangan perpres ini mencerminkan sifat yang sama seperti UU. Karena banyaknya norma baru yang dibentuk dan bentuk perwujudan keputusan politik negara,” tandas Hindari.

Oleh karena itu, lanjut dia, sangat penting bagi pemerintah dan DPR membuka proses pembahasan dan pengesahan rancangan perpres dengan seluas-luasnya dengan melibatkan partisipasi akademisi, aktivis, organisasi masyarakat dan lain sebagainya. 

DPR, yang menurut Mahfud MD, sudah menerima draft rancangan perpres tersebut, diharap tidak tergesa-gesa memberikan persetujuan tanpa pembahasan yang detail dan terbuka. Tugas DPR adalah memastikan agenda reformasi sektor keamanan sebagaimana mandat TAP MPR di atas tidak diingkari.

Menurutnya, sekali saja TNI diberi legalitas memasuki kehidupan sipil dan menjadi pengadil tindak pidana terorisme, selanjutnya TNI akan kembali mengukuhkan supremasi militer dalam seluruh sendi kehidupan bernegara. “Reformasi sektor keamanan tidak boleh dirusak. Pintu pelibatan TNI tanpa batas harus ditutup,” tandas Hendardi.(rd)