Kembangkan e-Nose, Inovasi Sensor Aroma untuk Kesehatan dan Industri
Dalam industri yang semakin kompetitif, evaluasi kualitas yang cepat dan akurat menjadi kebutuhan mendesak.

Surabaya, HARIANBANGSA.net - Dalam industri yang semakin kompetitif, evaluasi kualitas yang cepat dan akurat menjadi kebutuhan mendesak. Namun, metode konvensional yang bergantung pada uji laboratorium sering kali memerlukan waktu lama dan keahlian khusus.
Menjawab tantangan tersebut, guru besar ke-215 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Muhammad Rivai menggagas inovasi bernama Electronic Nose (e-Nose). Dalam orasi ilmiahnya untuk pengukuhan profesor yang bertajuk Peran Teknologi Electronic Nose sebagai Inovasi Masa Depan dalam Evaluasi Kualitas, dosen yang biasa disapa Rivai ini memaparkan bagaimana e-Nose mampu menggantikan metode laboratorium.
Sistem ini bekerja dengan meniru fungsi penciuman manusia, memungkinkan analisis kualitas produk, diagnosis kesehatan, hingga pemantauan lingkungan. “Dengan menggunakan algoritma pembelajaran mesin, perangkat ini dapat mengolah pola aroma secara akurat dan efisien,” jelasnya.
Lelaki kelahiran Surakarta ini telah mengimplementasikan e-Nose di berbagai bidang. Teknologi ini telah digunakan untuk mendeteksi diabetes melalui analisis sampel urin, identifikasi tingkat kematangan kue kering, serta deteksi penyakit pernapasan paru obstruktif kronik (PPOK) dan asma melalui udara pernapasan pasien. “Sensor gas pada e-Nose yang digunakan berbeda tergantung kebutuhan,” ungkapnya.
Dalam penelitian deteksi diabetes, e-Nose dikembangkan menggunakan sensor gas berbasis Quartz Crystal Microbalance (QCM) yang dilapisi nanomaterial karbon. Sensor ini mampu mengenali pola aroma khas urine penderita diabetes dengan akurasi mencapai 91 persen. Dengan teknologi ini, diagnosis diabetes dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat. “Inovasi ini bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang membutuhkan metode deteksi tanpa harus melalui tes darah,” jelasnya.
Selain itu, e-Nose juga dikembangkan untuk analisis penyakit pernapasan, misalnya deteksi asma dan PPOK. Dengan menggunakan 20 sensor gas semikonduktor yang dikombinasikan dengan algoritma pembelajaran mesin, sistem ini mampu menganalisis udara pernapasan pasien. Teknologi ini telah diuji pada pasien di RS Universitas Airlangga (RSUA) dan RSU dr Soetomo. Hasil pengujian membuktikan e-Nose memiliki akurasi tinggi dalam membedakan pasien PPOK ataupun asma dan individu sehat.
Tak hanya dalam dunia medis, e-Nose juga diterapkan dalam industri pangan. Dalam industri ini, Rivai menggunakan sensor gas Metal Oxide Semiconductor (MOS) untuk mengidentifikasi tingkat kematangan kue kering. Teknologi ini dapat menggantikan metode subjektif berbasis warna atau waktu pemanggangan dengan akurasi mencapai 90 persen. “Dengan sistem ini, produsen makanan dapat menetapkan standar kualitas produk lebih objektif,” ujar Rivai.
Lebih lanjut, Rivai mengatakan, e-Nose juga dikembangkan untuk keamanan lingkungan dan industri, khususnya dalam sistem robot pencari kebocoran gas berbasis LiDAR. Robot ini mampu melacak sumber kebocoran gas dengan efisiensi 62,2 persen lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Penerapan teknologi ini menjadi langkah strategis dalam meningkatkan keamanan di industri migas serta mitigasi risiko lingkungan.
Dengan berbagai langkah yang telah dilakukan, Rivai menjelaskan bahwa risetnya berkontribusi terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada poin ke-3 terkait kesehatan yang baik dan kesejahteraan. Selain itu, juga poin ke-9 mengenai infrastruktur, industri, dan inovasi, serta poin ke-13 yang berfokus pada penanganan perubahan iklim.
Ia berharap inovasi yang dikembangkannya dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. “Kami ingin memastikan bahwa penelitian ini tidak hanya berhenti di laboratorium, tetapi benar-benar bisa memberikan dampak positif bagi kehidupan banyak orang,” harapnya.(rd)