Soal Polemik Tapera, Aktivis Perempuan Ini Minta Dikaji Ulang

Viral polemik kebijakan Tapera yang baru saja digulirkan pemerintah. Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang kian menuai kritik.

Soal Polemik Tapera, Aktivis Perempuan Ini Minta Dikaji Ulang
Lia Istifhama, aktivis perempuan dan anggota DPD RI terpilih periode 2024-2029.

Surabaya, HARIANBANGSA.net - Viral polemik kebijakan Tapera yang baru saja digulirkan pemerintah. Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang kian menuai kritik. Pasalnya, pemerintah mewajibkan pekerja swasta membayar iuran dari gaji atau upah mereka untuk Tapera.

Seperti diketahui, besaran simpanan, yang ditanggung oleh pemberi kerja sebesar 0,5 pdersen dan pekerja sebesar 2,5 pekerja. Tak ayal, banyak pihak pun turut berkomentar, tak terkecuali aktivis perempuan Ning Lia Istifhama.

Perempuan berparas cantik yang terpilih sebagai senator dengan raihan suara terbanyak nasional kategori calon perempuan nonpetahana tersebut, menjelaskan secara gamblang harapannya akan dikaji ulangnya penetapan Tapera bagi karyawan swasta.

“Maksud saya mengkaji ulang, bukan berarti penolakan. Namun penerapan yang disesuaikan dengan beberapa aspek sosial yang selama ini dirasakan karyawan swasta. Secara sederhana, saya sangat berharap bisa dilakukan deep analisis atau analisis mendalam lagi," kata perempuan yang akrab disapa Ning Lia itu, Jumat (31/5).

Dia menjelaskan, banyak sekali pasangan yang harus sama-sama bekerja dengan gaji UMR guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. “Kita harus menyadari, bahwa realita saat ini mayoritas seorang ibu menjalankan multifungsi, yang mana ia bukan hanya menjalankan profesi domestik, tapi juga publik sebagai karyawan. Ini bukti bahwa gaji UMR jika hanya dimiliki salah satu. Misal hanya sosok suami atau kepala rumah tangga, itu tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan hidup," terangnya.

Lia mengakui UMR setiap tahun memang meningkat. Bahkan di Jawa Timur misalnya, meningkatnya signifikan, yaitu naik 6,13 persen pada UMR tahun 2024. Namun meningkatnya UMR, ternyata diikuti juga dengan meningkatnya kebutuhan hidup. Jadi mau tidak mau memang suami istri dituntut harus sama-sama bekerja. Tidak sedikit yang sama-sama memiliki side job, jadi benar-benar harus pintar mengelola waktu mengasuh anak.

Penjelasan Ning Lia tersebut ternyata tak lepas dari pengalaman hidupnya yang belasan tahun melakoni pekerjaan sebagai karyawan, dengan penghasilan UMR.

“Alhamdulillah, saya termasuk warga metropolis yang pernah merasakan perjuangan mencari rejeki halal dengan profesi karyawan bergaji UMR. Jadi sangat memahami arti dari sekian rupiah sebuah potongan. BPJS misalnya, sebenarnya sangat positif. Tapi memang pasti ada dampak dari sebuah potongan," tuturnya.

Lia melanjutkan, jika sekarang ada penambahan potongan Tapera, ia khawatir membebani karyawan dengan tingkat ekonomi tertentu. Atau membebani perusahaan sehingga mereka semakin terbiasa mempekerjakan karyawan sebagai kontrak, bukan karyawan tetap.

Ia menambahkan, habit perusahaan mempekerjakan karyawan sebagai tenaga kontrak, adalah persoalan yang harus menjadi atensi khusus. “Diakui apa tidak, budaya kontrak sudah lumrah. Bekerja sebagai karyawan kontrak, tinggal di rumah kontrak, itu seperti sebuah realita yang sangat umum terjadi, terutama di perkotaan. Mengapa karyawan memilih kontrak. Karena memang mampunya kontrak rumah. Tapi persoalan yang menjadi atensi khusus adalah mengapa karyawan yang bekerja sekian tahun tetap berstatus kontrak," tanyanya.

“Saya khawatir, perusahaan memang mampunya mempekerjakan karyawan secara kontrak karena tidak bisa memberi pesangon. Nah, ini yang jangan sampai luput dari atensi kita bersama. Dalam hal ini, jangan sampai ada penambahan beban operational cost lebih besar per satu tenaga kerja yang justru kian menambah perusahaan dan membuat mereka semakin nyaman menggunakan skema karyawan kontrak,” jelasnya.

Politisi yang pernah bekerja sebagai HRD tersebut kemudian mencoba merinci nominal dari pemotongan gaji karyawan swasta selama ini. “Kita coba contohkan Jatim ya, dimana atas upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp2.165.244. Maka dari angka itu, ketika ditetapkan pemotongan iuran Tapera dan BPJS yang sudah berlangsung selama ini, maka karyawan akan dibebankan iuran total Rp75.783, sehingga take home pay (THP) karyawan menjadi Rp2.089.461. Sedangkan iuran yang dibayar perusahaan sebesar Rp. 220.856," urainya.

Lia melanjutkan, kemudian jika kita coba hitung pada UMR terbesar di Jatim, yaitu Surabaya senilai Rp4.725.479, maka karyawan dibebankan total potongan 3,5 persen menjadi Rp165.392, sehingga THP Rp 4.560.087. Sedangkan perusahaan membayar total iuran 10,2 persen, yaitu senilai Rp. 481.999.

Perhitungan yang dijelaskan oleh perempuan cantik itu, sesuai skema yang selama ini berlangsung. Bahwa iuran tarif BPJS Kesehatan adalah 5 persen dari upah atau gaji, dengan rincian perusahaan menanggung 4 persen dan karyawan atau tenaga kerja (TK) membayar 1 persen. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan, iuran perusahaan 3,7 persen, iuran TK 2 persen. Dan Tapera yang akan diberlakukan, sebesar 0,5 persen pada perusahaan dan pekerja sebesar 2,5 persen.

Sekalipun memberikan pandangan kritis, Ning Lia tetap mengapresiasi langkah pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan primer, yaitu papan atau rumah bagi karyawan.

“Lebih baik Tapera diujicobakan dulu kepada karyawan dengan gaji lebih dari 1 kali UMR per bulannya. J,adi jangan disamaratakan semua karyawan. Syukur-syukur khusus yang sudah berstatus karyawan tetap sehingga pengelolaan mudah. Atau menjadi opsi bagi karyawan kontrak bergaji UMR jika ingin mengambilnya, karena memang ada manfaatnya. Seperti kemudahan pinjaman dan bagi hasil pengembangan," tandasnya.

Menekankan pada karyawan tetap, dijelaskan Ning Lia karena pengelolaan hak atas pencairan bagi karyawan kontrak, mengalami banyak kendala di lapangan.

“Harus diakui, banyak karyawan yang ternyata hanya bekerja sebulan atau tiga bulan lantas kena PHK, maka saya sanksi ia bisa mengurus pencairan Taperanya kelak. Karena banyak di lapangan, karyawan yang sulit mendapatkan referensi kerja dari tempatnya bekerja karena hal-hal internal, sehingga ini juga pasti jadi kendala dalam pencairan hak atas Taperanya kelak," tegasnya.

Oleh sebab itu, jika Tapera diberlakukan secara merata, maka perlu ada perlindungan atas kemudahan karyawan untuk dapat mencairkan iurannya kelak.(mdr/rd)