Pimpinan DPRD Surabaya Minta Biaya Rapid Test Tak Bebani Masyarakat
Dengan adanya SE tersebut dapat digunakan sebagai acuan kepastian setiap Fasilitas Kesehatan (Faskes) di Surabaya dalam memberikan pelayanan rapid test kepada masyarakat.
SURABAYA, HARIANBANGSA.net - Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya asal Fraksi PKB, Laila Mufidah, ikut menanggapi Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang penetapan harga tertinggi pemeriksaan rapid tes Covid-19.
Menurut Laila Mufidah, dengan adanya SE tersebut dapat digunakan sebagai acuan kepastian setiap Fasilitas Kesehatan (Faskes) di Surabaya dalam memberikan pelayanan rapid test kepada masyarakat.
"Artinya, penyedia rapid test kesehatan tingkat pertama maupun rujukan rapid test Rumah Sakit Surabaya harus memperhatikan penetapan batas tertinggi dari Kemenkes tersebut," ujarnya.
Mantan Ketua Fraksi PKB Surabaya periode 2014-2019 itu, meminta seluruh pelayanan kesehatan di Surabaya dapat memahami dan patuh atas SE Kemenkes itu. Jika ditemukan penetapan biaya rapid test lebih mahal dari apa yang telah ditetapkan Kemenkes, maka ia berharap ada teguran tegas.
"Jika penyedia rapid test di Surabaya masih saja tidak patuh atau membandrol tarif rapid test lebih mahal dari penetapan Kemenkes, saya harap ada tindakan tegas berupa teguran oleh Kemenkes melalui Dinas Kesehatan setempat," jelasnya.
Diketahui, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang penetapan harga tertinggi pemeriksaan rapid test Covid-19.
Dalam Surat Edaran (SE) bernomor HK.02.02/l/2875/2020 itu, Kemenkes menetapkan batas tertinggi pemeriksaan rapid test sebesar 150 ribu.
Sementara itu, kabar terbaru Pemkot Surabaya mengeluarkan kebijakan baru dalam rangka mengurangi penyebaran virus corona ( COVID-19) di Surabaya. Dimana Wali Kota Tri Rismaharini sudah membuat peraturan wali kota atau Perwali 33 tahun 2020.
Di antara isinya memuat, bahwa pekerja dari luar kota yang masuk Surabaya wajib membawa surat negatif COVID-19. Mengingat, saat ini tren penyebaran virus corona di Surabaya mulai mengalami penurunan. Laila menegaskan, aturan tersebut sebaiknya tidak memberatkan masyarakat.
Sementara unsur pimpinan lainya yakni Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A Hermas Thony menyoroti persoalan jam operasional rekreasi hiburan umum (RHU) dalam Perwali tersebut. Menurutnya, semua agar pihak baik itu Pemerintah, Pengusahan maupun masyarakat jangan menafsirkan secara sendiri sendiri tentang maksud Perwali Nomer 33 Tahun 2020 perubahan atas perwali no 28 tahun 2020.
Warga saat melakukan rapid tes
“Walikota membuat peraturan (Perwali 33) ini, kami menyakini sudah melalui kajian mendalam,” ujar A Hermas Thony.
Di Perwali 33, kata ia, ada satu ketentuan di dalam pasal 20 ayat (1) disebutkan tentang pedoman pelaksanaan tatanan normal baru dan seterusnya, dan di ayat (2) disebutkan selain kegiatan di tempat kegiatan hiburan dan rekreasi bagaimana yang dimaksud di ayat (1) dilarang beroperasi.
“Artinya yang boleh beroperasi yang diatas ini, yaitu destinasi pariwisata, arena permainan, salon, bar shop dan gelanggan olahraga kecuali untuk kan gitu,” kata Thony.
Makna Pariwisata, menurut Penasehat Fraksi Gerindra ini, perlu dimaknai secara proporsional, dan makna proporsional ini jangan ditafsirkan sendiri sendiri, harus didasari kepada aturan yang ada.
“Seperti di dalam ketentuan di Perda no 23 tahun 2012 Tentang Pariwisata,” papat Thony.
Perda Pariwisata itu, ia menjelaskan, dinyatakan sebagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.
“Rumah Hiburan Umum (RHU) ini dibuat oleh siapa, apakah disediakan oleh masyarakat, pengusaha ? ,” ungkap Thony.
Kalau yang disediakan oleh pengusaha, menurut ia, artinya Perwali 33 Tahun 2020 tidak melarang dan bisa ditafsirkan tidak melarang (Buka), terhadap rumah hiburan yang dirasakan dimaknai suatu tempat wisata.(lan/ns)