Kapasitas Isolasi dan Tes Cepat Jatim tertinggi di Indonesia, PCR Tertinggi setelah Jakarta
“Per hari ini, tes PCR yang dilakukan Jawa Timur sudah mencapai 206.368 test dengan 53 lab PCR. Kapasitas testing hariannya sudah sampai 4.000-5.000 sampel,” jelas Gubernur Khofifah
SURABAYA, HARIANBANGSA.net - Berbagai macam upaya serius dilakukan pemerintah Jawa Timur dalam menangani COVID-19, khsusunya dalam meningkatkan kapasitas 3T, yakni testing, tracing dan treatment sesuai arahan Presiden RI Joko Widodo. Berdasarkan laporan bulanan dari Kemenkes RI, selama periode 22 Mei-22 Agustus 2020, Jawa Timur (132.338 test) tercatat menjadi Provinsi tertinggi kedua dalam melakukan testing PCR di Indonesia setelah DKI Jakarta (221.812 test). Diikuti oleh Jawa Tengah (103.879 test) dan Jawa Barat (102.875 test).
“Per hari ini, tes PCR yang dilakukan Jawa Timur sudah mencapai 206.368 test dengan 53 lab PCR. Kapasitas testing hariannya sudah sampai 4.000-5.000 sampel,” jelas Gubernur Khofifah saat ditemui di Gedung Negara Grahadi Surabaya pada Jum’at (28/8) siang.
Tak hanya itu, dia juga menambahkan, upaya testing dan tracing di Jawa Timur juga dilakukan secara masif dengan bantuan tes cepat/ rapid test. Per hari ini Jatim menjadi provinsi dengan pengunaan rapid test tertinggi untuk tracing dan screening di Indonesia dengan total 927.529 test. Jika dianalogikan dengan jumlah penduduk Jatim yang sekitar 40 juta, maka Ibarat 1 dari 43 penduduk Jatim telah menjalani test cepat
Sebelumnya, di awal bulan Juli, Jatim khususnya Surabaya Raya pernah hampir overload atau penuh. Pemprov Jatim pun segera mengupayakan ekspansi bed Isolasi dan meningkatkan jumlah RS Rujukan. Per hari ini, berdasarkan data dari Kemenkes RI dan RS Online, Bed Isolasi Jawa Timur telah mencapai 7.551 buah dengan 127 RS Rujukan COVID-19.
Angka ini jauh melebihi Jakarta yang tercatat 4.955, Jabar 4.945, dan bahkan hampir dua kali lipat dari Jateng yakni 3.860. Artinya, Jawa Timur sudah all out untuk menyediakan ruang perawatan bagi penderita COVID-19
“Alhamdulillah, upaya Jatim dalam menyediakan perawatan kini membuahkan hasil. Bed occupancy rate yang dulunya di bulan Juli mencapai lebih dari 80%, bahkan dulu ada beberapa rumah sakit yang isolasinya penuh dengan BOR 100%, kini berhasil turun menjadi 44,8%,” ungkap orang nomor satu Jatim ini.
Gubernur Khofifah menuturkan, turunnya angka tersebut, juga berkat tingginya angka kesembuhan Jawa Timur yang saat ini secara prosentatif tertinggi di Pulau Jawa, yakni 78,85%. Sehingga, saat ini pasien positif COVID-19 yang aktif di Jawa Timur hanya tersisa 14.13%.
Meskipun demikian, Khofifah juga menanggapi beberapa analisis pakar terkait kematian di Jawa Timur. Dari pertemuan Ekspos hasil Survey penanganan COVID-19 pada Rabu (12/8) lalu, disebutkan bahwa salah satu faktor yang mengakibatkan angka kematian di Jawa Timur bertambah adalah keterlambatan pasien positif untuk berangkat ke Rumah Sakit.
Dijelaskan, terlambatnya penanganan pasien positif dipengaruhi oleh fenomena happy hypoxia. Dalam kondisi ini, seseorang tidak menyadari jika kadar oksigen di dalam tubuhnya menurun karena dirinya tidak mengalami gejala apapun. Untuk itu, Gubernur Khofifah menghimbau masyarakat untuk tidak khawatir meminta perawatan jika telah terkonfirmasi positif Covid-19 karena perlu ada pengawasan ekstra bagi setiap pasien.
“Saya sampaikan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dan tidak perlu menunda ke Rumah Sakit. RS Darurat Lapangan Indrapura selama ini cukup berhasil mencegah terjadinya happy hypoxia dengan monitoring saturasi oksigen yang ketat, bahkan sehari bisa di monitor 3-4x,” tutur Khofifah meyakinkan masyarakat.
Bahkan, dirinya juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa tingkat kematian di RS Darurat Lapangan hingga hari ini adalah 0% dengan 1.410 orang yang dirawat disana telah sembuh.
Fakta terkait Happy Hypoxia itu juga didukung oleh pernyataan Dr. Joni Wahyuhadi, Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19. Dirinya menyampaikan bahwa cukup sering terjadi fenomena happy hypoxia yang terjadi di Jawa Timur.
“Pasien kelihatannya sehat-sehat saja tapi kadar oksigennya ternyata sebenarnya turun dibawah 80%. Akhirnya baru berangkat ke Rumah Sakit ketika kondisinya sudah memburuk,” jelas Dr. Joni yang juga Dirut RSUD Dr. Soetomo Surabaya. (dev/ns)