Pelaku Kekerasan Seksual Meningkat, Apa Kabar RUU P-KS
"Mudah-mudahan tahun ini bisa disetujui. Kami ikut membantu dengan cara mengumpulkan petisi agar segera disahkan Komisi VIII DPR RI, sampai 19 Maret sudah 428.864 dan terus akan kami kumpulkan sampai disahkan," tambah public Relations and Community Manager The Body Shop, Ratu Omaya.
SURABAYA, HB.net - LIMA tahun yang lalu, negara sudah menyatakan kondisi darurat kekerasan seksual. Namun nyatanya jumlah kasus kekerasan seksual masih meningkat setiap tahunnya. Hingga saat ini belum adanya kebijakan yang mengakomodasi hak-hak korban secara komprehensif.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PK-S) pun menjadi tarik ulur. Bahkan jadi komoditas jualan partai untuk menarik simpai pemilih perempuan. Tak dapat dipungikiri, sampai saat ini yang menjadi menjadi tarik ulur ialah definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Kelemahan hukum yang ada saat ini ialah belum ada yang fokus melindungi korban kekerasan seksual. Beberapa kalangan berusaha bersama-sama memperjuangkan hak korban dengan membuat RUU PK-S pun belum berhasil. Sedikit kabar gembira, RUU PK-S kini sudah masuh dalam Prolegnas DPR RI.
Sejak diusulkan pada 2016 fraksi-fraksi di DPR belum juga menemukan titik temu untuk menyepakati RUU PKS menjadi UU PKS. CEO The Body Shop, Arya Widiwardhono mengatakan, pihaknya berupaya untuk memberantas kekerasan seksual. Pelatihan dan workshop pun dilakukan untuk mengenalkan pada remaja atau ABG, mengedukasi dan menyuarakan terkait hal tersebut. Bahkan, pihaknya juga berupaya untuk terus membantu dan memantau jalannya RUU P-KS.
"Mudah-mudahan tahun ini bisa disetujui. Kami ikut membantu dengan cara mengumpulkan petisi agar segera disahkan Komisi VIII DPR RI, sampai 19 Maret sudah 428.864 dan terus akan kami kumpulkan sampai disahkan," tambah public Relations and Community Manager The Body Shop, Ratu Omaya dalam taklshow yang diselenggarakan Forun Jurnalistik Perempuan Indonesia (FJPI) bersama The Body Shop dan sejumlah pihak beberapa pekan lalu.
Senada, Program Officer International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Megawati mengatakan, UU ini sangat perlu karena bisa membuat dua hal yakni bisa melindungi korban. Karena selama ini tidak ada perlindungan terhadap korban, selain itu juga untuk menjerat pelaku. Jadi korban yang selama ini banyak yang tidak berani melapor, ketika ada hukum maka mereka bisa berani.
"Namun itu sangat banyak rintangan. Dari survey yang kami lakukan, sebanyak 20,1 persen responden tidak setuju. Beberapa alasan seperti RUU ini dianggap kontroversi dan tidak sesuai dengan agama. Sementara 70,5 persen setuju. Hal ini menjadi pemicu hingga kini belum disahkan,”ujar dia.
Terkait daerah mana yang paling banyak kekerasan ternyata didaerah Riau Sumatra selatan. Alasannya karena faktor ekonomi, disana banyak pengangagguran. Data yang sama juga disampaikan Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainah, beberapa daerah yang masih tinggi diantaranya Sumatra, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur juga termasuk.
"Angka tertinggi ini bisa terjadi berdasarkan kebijakan lokal masing-masing daerah. Nah dengan adanya RUU P-KS, diharapkan bisa mengurangi angka kekerasan di Indonesia dan korban bisa atau berani untuk melaporkan kekerasa yang dialaminya karena si korban pun akan dilindungi oleh UU tersebut,"ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan KUHAP, RUU PKSl ebih banyak mengatur terkait kedudukan korban yang harus dilindungi. RUU PKS melindungi secara khusus korban, sementara di KUHAP hanya sedikit sekali pasal yang fokus terhadap korban.
Psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi M.Psi., mengatakan, selama ini korba kekerasan biasanya tidak berani melapor. Tidak hanya itu mental mereka juga terkadang mengalami depresi akibat kejadian yang dialaminya. Bahkan, kadang korban ini tidak dapat memberikan keterangan apa-apa terkait kekerasan yang dialaminya.
“Seharusnya, korban menjadi saksi dalam tindak kekerasan yang dialaminya. Jangan sampai dia tidak tahu atau salah bersaksi karena tuduhannya atau penglihatannya salah. Karena bagaimanapun juga yang melihat dan mengalami ya korban itu sendiri. Jadi kesaksian korban ini sangat penting untuk membuat pelaku mendapat hukuman atas perbuatannya,” tandasnya.
Sementara FJPI dan The Body Shop terus berupaya membantu hadirnya RUU P-KS agar segera dapat disahkan. FJPI yang merupakan anggota kumpulan jurnalis ini berharap seluruh media bisa menyajikan berita yang tidak menonjolkan korban sesuai dengan kode etik baik dari segi judul maupun tulisan berita yang dibuatnya.
Diyah Khoirunnisa