Cegah Urbanisasi Pasca Lebaran, Gandeng RT-RW Awasi Kos
Sebagai kota besar kedua di Indonesia, Surabaya sering kali menjadi salah satu tujuan urbanisasi masyarakat dari berbagai daerah.
Surabaya, HARIANBANGSA.net - Sebagai kota besar kedua di Indonesia, Surabaya sering kali menjadi salah satu tujuan urbanisasi masyarakat dari berbagai daerah. Fenomena ini biasanya terjadi pasca Lebaran, sehingga Pemkot Surabaya melakukan berbagai upaya untuk mencegah urbanisasi yang tidak jelas itu.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya Eddy Christijanto mengatakan, pasca Lebaran, kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya mewaspadai masyarakat yang hendak melakukan urbanisasi dari desa asal ke kota tujuan. Mereka pindah ke kota karena berbagai alasan.
Bagi mereka yang tujuannya jelas, pindah ke kota besar karena alasan telah mendapatkan pekerjaan atau dimutasi dari daerah asal ke kota besar dan bahkan bertugas mengikuti pasangan dan mengharuskan menetap di Kota Surabaya. “Nah, yang begini ini kami perbolehkan,” tegas Eddy di ruang kerjanya, Selasa (16/4).
Sedangkan yang dilarang itu adalah masyarakat yang pindah ke Surabaya tapi belum mengetahui akan bekerja dimana dan tempat tinggalnya dimana. Apabila hal ini teridikasi dan ditemukan, maka pemkot akan memulangkan ke daerah asalnya.
“Pemkot Surabaya tidak melarang masyarakat mencari nafkah di sini asal jelas. Karena dikhawatirkan muncul problem baru, yaitu tingginya angka kriminalitas, banyaknya pengangguran, serta mempengaruhi warga miskin dan gelandangan di Surabaya,” katanya.
Oleh karena itu, untuk menanggulangi urbanisasi yang tidak jelas itu, Pemkot Surabaya melalui Dispendukcapil melakukan pendataan ke lapangan dengan mengerahkan RT dan RW per wilayah di seluruh Kota Surabaya. Bahkan, di Dispendukcapil sendiri sudah ada tim tersendiri, mereka bergerak untuk mendata di lapangan penduduk baru yang bermukim di kota ini.
“Setelah mereka mendapatkan data dimana yang bersangkutan bekerja dan tinggalnya, lalu mereka akan mencocokkan data yang didapatkannya itu apakah benar pekerjaan dan tempat tinggal sesuai dengan data yang diberikan,” ujarnya.
Tentunya, hal ini berbeda dengan masyarakat yang ingin menjadi warga Kota Surabaya. Bagi mereka yang akan pindah datang ke Surabaya, persyaratannya lebih ketat dan tidak mudah karena bertambahnya penduduk maka juga akan mempengaruhi pergerakan ekonomi, seperti meningkatnya inflasi jika tidak di sesuaikan dengan kebutuhan dari masyarakat kita.
Makanya, Pemkot Surabaya saat ini terus menggencarkan pengawasan dan pengendalian urbanisasi itu. Bahkan, pemkot juga bekerjasama dengan RT dan RW untuk memonitoring warganya. Di samping itu, pemilik kos-kosan juga diminta untuk melaporkan kepada RT dan RW apabila di rumah kosnya itu ada penduduk baru.
“Lalu pengendalian yang juga gencar kami lakukan adalah sosialisasi kepada masyarakat bahwa mereka yang bukan warga Kota Surabaya hendaknya melapor dan memberikan data yang akurat mengenai data diri mereka, alasan mereka berada di Surabaya, pekerjaan dan tempat tinggalnya,” imbuhnya.
Meski begitu, lagi-lagi Eddy memastikan bahwa Pemkot Surabaya tidak melarang warga lain mengadu nasib di Kota Pahlawan. Hanya saja, harus jelas mengenai pekerjaan dan tempat tinggalnya, sehingga keberadaan mereka tidak menjadi masalah baru di Kota Surabaya.
“Banyak pemukiman kumuh di Surabaya yang sudah kami tertibkan. Mereka yang bukan penduduk asli Surabaya, namun ada pekerjaan yang jelas direlokasi ke tempat yang lebih baik. Tapi bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas, maka kami akan kembalikan ke daerah asal mereka,” pungkasnya. (ari/rd)