Ahli Pidana Unair Sebut Terdakwa Ernawati Tak Penuhi Unsur Penipuan dan Penggelapan
Tuban, HB.net - Ernawati (39) warga Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban yang dilaporkan balik oleh kedua dukun asal Desa Besowo, Kecamatan Jatirogo terkait dugaan penipuan dan penggelapan mendapat tanggapan ahli pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Diketahui, sebelumnya Ernawati melaporkan Pasutri Suratmi dan Sugiantoro yang kesehariannya sebagai dukun atau supranatural. Pasutri itu dilaporkan Ernawati karena dianggap melalukan penipuan terhadap dirinya yang mengalami total kerugian hingga Rp 4,2 miliar.
Namun, keadaan menjadi berbalik giliran Ernawati yang diketahui seorang janda itu telah dilaporkan kedua dukun atas dugaan penipuan dan penggelapan 1 unit mobil Pajero serta 1 unit mobil Kijang Innova.
Mengenai kondisi itu membuat dua Ahli Pidana asal Kampus Unair Surabaya itu bersuara saat dalam persidangan dengan agenda mendengarkan saksi ahli di Pengadilan Negeri (PN) Tuban, pada Jum'at (29/11/2024). Kedua saksi ahli yang dihadirkan Kuasa Hukum Ernawati, Nur Aziz SH, MH ialah Dr. Sholehuddin, SH., MH dan Dr. Bambang Suheryadi, SH., MH.
Menurut kedua ahli pidana itu, bawah perbuatan terdakwa Ernawati tidak memenuhi unsur pidana penipuan dan penggelapan seperti yang disampaikan Dr. Sholehuddin, SH., MH.
Ia menyatakan, adanya Putusan Pengadilan Agama Tuban yang menyatakan 2 (dua) objek kendaraan tersebut harta bersama antara terdakwa dengan mantan suaminya. Sehingga, seharusnya terdakwa tidak dapat dituntut secara pidana karena tak melakukan perbuatan melawan hukum.
"Putusan pengadilan agama tersebut otentik, jika ada pihak yang merasa keberatan seharusnya melakukan gugatan perdata bukan melaporkan atau menuntut secara pidana," tegas Dr Sholehuddin SH, MH.
Senada disampaikan, Dr. Bambang Suheryadi, SH., MH. Ia menerangkan bukti BPKB bukti kepemilikan secara formil, akan tetapi harus dibuktikan secara materiil. Artinya, siapa yang membeli dan apa bukti pembeliannya. Apalagi adanya Putusan Pengadilan Agama yang menyatakan objek barang tersebut adalah milik terdakwa dan mantan suaminya. Sehingga, terdakwa tidak dapat dituntut secara pidana.
"Berdasarkan Pasal 183 KUHAP terdakwa tidak boleh dijatuhi pidana kecuali terdapat dua alat bukti yang sah. Dan hakim berkeyakinan benar-benar terjadi tindak pidana dan Terdakwalah yang melakukan," imbuh Dr Bambang.
Sementara itu, Penasehat Hukum terdakwa, Nur Aziz menjelaskan, perkara yang didakwakan kepada Ernawati yang diduga melakukan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan tersebut tidak cukup bukti. Alasannya, objek barang bukti berupa 1 unit mobil Pajero dan 1 unit mobil Innova adalah harta bersama (gono-gini) antara terdakwa dengan mantan suaminya. Hal itu didukung dengan putusan sidang perceraian saat di PA.
"Menurut kedua ahli pidana, inti delik (delicts berlstandekelen) dalam perkara penipuan dan atau penggelapan yang didakwakan kepada Terdakwa bagian inti delik tidak terbukti karena tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa," bebernya.
Selanjutnya, berkaitan dengan keterangan saksi yang berubah dalam BAP dan berubah dalam persidangan. Ahli berpendapat dalam menilai kebenaran terangan seorang saksi yang berubah-berubah patut tidak dapat dipercaya. Sehingga, patut diduga saksi tersebut memberikan keterangan palsu dalam persidangan yg dapat merugikan Terdakwa sebagaimana yg diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP.
"Kata saksi ahli tadi, bahwa alat bukti surat berupa kwitansi pembelian mobil yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Disitu yang tahun pembuatannya diajukan adalah bukti yang tidak valid dan reliable. Artinya tidak dapat dipercaya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan sehingga patut diduga bukti tersebut palsu atau dipalsukan," bebernya
Berdasarkan keterangan kedua ahli pidana tersebut, Aziz selaku penasihat hukum Terdakwa, memang benar perbuatan Terdakwa terbukti, namun menurut hukum perbuatan tersebut bukan tindak pidana (onslag van rechtsvervolging), maka Terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
"Jadi terdakwa ini harus diputus bebas dari segala tuntutan hukum sesuai ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP," pungkasnya. (wan/ns)