Aturan Pengelolaan Laut antara Pusat dan Daerah Masih Disharmoni
Sebanyak 23 provinsi ikut dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Laut 0-12 Mil. Acara ini diadakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Timur, di Ballroom Hotel Shangrila, Surabaya, Jumat (16/6).
Surabaya, HARIANBANGSA.net – Sebanyak 23 provinsi ikut dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Laut 0-12 Mil. Acara ini diadakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Timur, di Ballroom Hotel Shangrila, Surabaya, Jumat (16/6).
Sebanyak 23 provinsi ini diwakili oleh para kepala dinas terkait atau perwakilannya. Mereka sepakat agar pengelolaan laut dan pesisir sepanjang 0-12 mil dilakukan secara tepat dan mengikuti aturan yang berlaku sesuai undang-undang.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur M Isa Anshori mengungkapkan, kegiatan ini merupakan rakor pertama yang membahas pengelolaan laut 0-12 mil dari berbagai provinsi di Indonesia. “Kita harapkan ada kelanjutannya untuk membahas masalah ini karena banyak provinsi mengalami masalah yang sama,” kata Isa Anshori yang juga menjadi moderator acara ini.
Rakor ini menghadirkan narasumber Daniel M Rosyid dan Widi A Pratikto dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Sedangkan dua narasumber lainnya adalah Aan Eko Widiarto dan Abu Bakar Sambah dari Universitas Brawijaya, Malang.
Dalam rakor ini terungkap bahwa masih ada disharmoni dalam undang-undang yang mengatur pengelolaan laut dan pesisir. Hal ini diungkapkan pengajar Hukum Pemerintahan Daerah dan Ilmu Perundangan-undangan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto.
“Banyak aturan yang bertabrakan antara pemerintah pusat dengan provinsi. Ada disharmoni dalam beberapa pasal dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang,” ungkap Aan Eko Widiarto.
Padahal, lanjutnya, satu-satunya pemerintah daerah yang punya wewenang mengatur masalah kelautan adalah provinsi. Namun ia melihat UU Cipta Kerja tidak menghapus atau mengubah UU Pemerintahan Daerah terkait kewenangan provinsi di laut. “Provinsi masih memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah dan wewenang yang diatur dalam UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Aan yang menjadi guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini mengungkapkan, UU Cipta Kerja adalah legi generalis. Sedangkan UU Pemerintahan Daerah adalah lex specialis. “Jadi, semestinya UU Pemerintahan Daerah mengesampingkan UU Cipta Kerja,” imbuhnya.
Aan Eko Widiarto juga menyarankan perlunya legislative review UU Cipta Kerja . Salah satu jalannya dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara, pakar kelautan ITS Daniel A Rosyid mengatakan, harus ada semacam lokalisasi aturan. “Aturan tunggal yang yang sentralistik pasti akan gagal,” katanya.
Ia melihat UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertendensi sentralistik. UU ini cenderung melakukan liberalisasi pengelolaan tata ruang laut.
Widi A Pratikto menyoroti penataan ruang pesisir dan laut. Menurutnya, perlu prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Dia juga menyoroti sampah laut yang kian hari menjadi ancaman. Dampaknya pada ekonomi, pariwisata, kerusakan habitat, kerusakan kapal dan navigasi, serta kehidupan lingkungan maritim secara keseluruhan.
Sedangkan Abu Bakar Sambah mengungkapkan, sulitnya mengukur secara nyata laut dengan isinya. Apalagi, laut hanya memili batas-batas yang bersifat maya. Demikian pula dengan mengukur potensi apa saja yang ada di dalam laut. “Lain dengan daratan. Ada batas-batas fisiknya seperti patok dan sebagainya,” katanya.
Acara ini disudahi dengan penandatanganan kesepakatan bersama para kepala dinas atau perwakilannya agar pengelolaan laut dan pesisir sesuai dengan rel aturan yang berlaku.(rd)