Ketua DPRD Jatim Serap Masukan Publik Terkait Relevansi Perda Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin
Surabaya, HB.net –Ketua DPRD Jawa Timur Muhammad Musyafak menyerap masukan publik terkait Perda No 3 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin. Kali ini pesertanya berasal dari kader Gerakan Pemuda Ansor Kota Surabaya, kader NU dan masyarakat Kota Surabaya.
Dari sejumlah masukan tersebut akan dirumuskan apakah perda tersebut dinilai masih relevan dan dipertahankan atau sebaliknya direvisi sehingga lebih ideal atau dicabut bila dinilai sudah tidak relevan.
Musyafak melanjutkan, dilihat dari sisi waktu juga sudah cukup lama sehingga apa masih relevan atau dicabut karena sudah tidak dibutuhkan lagi. Apalagi dari sisi anggaran yang diberikan kepada Organisasi Bantuan Hukum (OBH) pemberi bantuan hukum juga jauh dari ideal, sehingga penyerapan anggaran menjadi tidak optimal apalagi output yang diharapkan.
Pernyataan itu disampaikan politikus senior PKB yang akrab disapa Abah Syafak itu saat sosialisasi Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum untuk Orang Miskin bersama LBH Ansor Kota Surabaya dan DPC PKB Kota yang diselenggarakan 1 hingga 2 Desember 2024 di Hotel Swiss Bell Surabaya.
"Tujuan saya menggelar sosialisasi Perda ini karena ingin mendapat masukan, apakah Perda Bantuan Hukum untuk orang miskin masih diperlukan (relevan) atau dicabut saja karena sudah tidak diperlukan,” terangnya, Minggu (1/12/2024).
Musyafak mengungkapkan anggaran program bantuan hukum untuk orang miskin di APBD Jatim dialokasikan sebesar Rp500 juta per tahun. Namun penyerapan program tersebut rendah karena anggarannya masih jauh dibanding program serupa dari Kementerian Hukum, sehingga Perda Bantuan Hukum untuk Masyarakat miskin ini menjadi tidak efektif.
“Informasi dari LBH Ansor Kota Surabaya, OBH diberi anggaran Rp5 juta per perkara dari APBD Jatim. Sedangkan dari Kementerian Hukum diberikan sebesar Rp8 juta perkara, itupun banyak OBH masih enggan ambil kerena biaya operasionalnya jauh melebihi itu,” tuturnya
Selain itu, Musyafak melanjutkan, OBH juga banyak menemui kendala untuk bisa mengakses program bantuan hukum yang dibiayai pemerintah. Sebab, mereka harus memenuhi sertifikasi yang dilakukan setiap 3 tahun. Karena itu, terkadang OBH tahun ini lolos sertifikasi tapi belum tentu untuk 3 tahun ke depan.
“Jumlah OBH semakin menyusut, otomatis program bantuan hukum untuk orang miskin juga tak efektif. Makanya, hemat saya Perda No. 3 Tahun 2015 perlu direvisi,” ucap Musyafak.
Musyafak mengatakan pada prinsipnya Perda No.3 Tahun 2015 ini tujuannya sangat baik yaitu membantu atau melakukan pendampingan dan pembelaan bagi warga miskin yang membutuhkan bantuan hukum. Mengingat, orang miskin lemah secara hukum, karena mereka awam persoalan hukum.
“Kemiskinan itu bisa diubah asal dengan ketekunan, kerja keras, jujur dan amanah. Contohnya saya, orang tua saya hanya seorang penjual tempe, tapi saya sekarang bisa menjadi ketua DPRD Jatim. Padahal mimpi saja tak pernah," katanya.
Musyafak berpesan kepada seluruh kader GP Ansor Kota Surabaya agar tidak membela yang bayar, tetapi harus membela para kiai, ustad ataupun guru ngaji di mushola karena merekalah yang menegakkan agama Allah di tengah-tengah masyarakat.
“Nahnu Ansharullah itu yang harus dibela, sebab hidup itu tak ada yang pasti. Hanya kematian yang pasti. Karena itu selama masih diberikan hidup, kita perlu meletakkan legacy dan berbuat baik kepada orang lain dengan memberi manfaat kepada sesama," tegasnya.
Sementara itu, Rafiqi Anjasmara, SH, MH Rafiqi Anjarmara, Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Kota Surabaya sepakat kalau alokasi anggaran program bantuan hukum untuk orang miskin perlu ditambah. Mengingat, di tingkat polisi saja membutuhkan operasional Rp3 juta, kemudian di pengadilan sekitar Rp2 juta, lalu kalau mengajukan banding tambah lagi Rp1 juta.
Muhamad Musyafak, Ketua DPRD Jatim bersama nara sumber dan peserta sosialisasi Perda No.3 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum untuk Masyarat Miskin. foto: istimewa.
“Bagi seorang advokat bantuan hukum itu bagian dari sumpah profesi. Artinya jasa pengacara tidak harus dibayar tidak apa-apa. Tapi untuk operasional itu kami tidak bisa. Makanya, banyak OBH yang enggan mengambil program bantuan hukum karena untuk menutup operasional saja tak cukup,” tandas Rafiqi.
Ia menambahkan, merujuk pada UU No.16 tahun 2011 tentang bantuan hukum yang menjadi pijakan Perda No.3 Tahun 2015. Dana dari Kementerian Hukum untuk program bantuan hukum itu sebesar Rp6 miliar yang diperuntukan untuk 66 OBH yang dibagi lagi untuk 38 kabupaten/kota di Jatim. Sedangkan dari APBD Jatim hanya dialokasikan sebesar Rp500 juta untuk penduduk Jatim yang memerlukan bantuan hukum.
“Perda No.3 Tahun 2015 perlu direvisi, termasuk UU No.16 Tahun 2011. Karena dalam salah satu pasalnya melarang OBH selaku pemberi bantuan hukum menerima atau meminta suatu apapun kepada penerima bantuan hukum dan atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang diwakilinya. Sudah banyak OBH yang kena sanksi sehingga mereka terdegradasi tak bisa lagi menjadi OBH,” pungkas anggota Peradi Surabaya tersebut. (mdr/ns)