Kisah Selembar Kain Tenun Ikat dan Mantan Pekerja Migran

Berangkat dari kepedulian Sucipto terhadap kondisi mantan pekerja migran Indonesia, ia menggagas usaha-usaha kecil dalam memberdayakan masyarakat dan peningkatkan ketahanan ekonomi, salah satunya melalui kerajinan tenun ikat yang dirintis sejak 2019.

Kisah Selembar Kain Tenun Ikat dan Mantan Pekerja Migran
Wiji Utami dan rekannya memproduksi tenun ikat khas Blitar.
Kisah Selembar Kain Tenun Ikat dan Mantan Pekerja Migran

Blitar, HB.net - Riuh rendah suara alat tenun diiringi musik daerah memecah heningnya suasana Desa Dayu yang terletak di Nglegok, Blitar. Wiji Utami bersama tiga rekannya memulai kegiatan membuat kain tenun ikat. Sejak setahun lalu, kegiatan ini telah menjadi salah satu kegiatan rutin yang berpusat di kediaman Sucipto, penggagas tenun ikat Blitar.

Berangkat dari kepedulian Sucipto terhadap kondisi mantan pekerja migran Indonesia, ia menggagas usaha-usaha kecil dalam memberdayakan masyarakat dan peningkatkan ketahanan ekonomi, salah satunya melalui kerajinan tenun ikat yang dirintis sejak 2019.

Bukan hanya karena tenun ikat merupakan salah satu warisan budaya Indonesia, kegiatan menenun menjadi sarana pemulihan bagi pekerja migran yang mengalami trauma dan terpuruk paska kepulangan ke Indonesia.

Bersosialisasi dengan rekan-rekan, memintal benang, hingga merangkai benang menjadi selembar kain tenun dengan motif etnik yang cantik. Menenun tidak hanya membawa rasa nyaman bagi Wiji, tenun juga membawa rasa percaya dirinya kembali muncul untuk hadir di tengah masyarakat.

Tak hanya menenun, Wiji juga mulai dapat memberi pelatihan kepada masyarakat setelah sebelumnya tidak percaya diri dengan kondisi fisiknya yang tidak lagi sempurna. “Saya malu sama teman-teman, kondisi saya seperti ini. Rasanya tidak ada yang bisa saya kerjakan untuk diri saya dan orang lain,” ucap Wiji.

Ucapan tersebut mulai dipatahkan melalui dukungan sekitar dan keyakinan dirinya yang perlahan telah kembali muncul. “Sekarang ternyata ada yang mau dengarkan saya, bisa ngajarin orang. Senang ketemu orang,” tambahnya.

Pancaran semangat kembali terpancar dari sorot mata Wiji yang kini turut mendorong agar tenun ikat di Desa Dayu dapat terus berkembang dan mengajak mantan pekerja migran lain untuk dapat memiliki kemampuan untuk berdaya secara ekonomi.

Sejak berdiri, PLN Peduli hadir dan mendampingi perjalanan lima orang pekerja yang merintis usaha tenun ikat ini. Seiring dengan berjalannya waktu dan dukungan penuh PLN Peduli, Tenun Ikat Blitar kini telah memiliki 27 pekerja yang terlibat dalam pembuatan dan pengolahan tenun ikat. 

Senior Manager Komunikasi dan Umum PLN UID Jawa Timur, A Rasyid Naja menyampaikan rasa bangganya terhadap semangat mantan pekerja migran untuk tetap mandiri dan berdaya. PLN Peduli memiliki semangat yang sama untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, memberi manfaat lebih kepada masyarakat umum dan menjalin sinergi positif.

“Kami berharap dengan mengiringi mereka, Tenun Ikat Blitar menjadi produk lokal unggulan yang mampu menembus pasar nasional bahkan dunia,” ujarnya.

Senada, Sucipto, berharap sinergi dengan PLN Peduli dapat terus berlangsung dan memberi manfaat yang lebih luas bagi warga Blitar yang masih banyak bekerja sebagai pekerja migran. “Berawal dari omzet Rp 60 juta setahun, kini Tenun Ikat Blitar mampu memperoleh omzet hingga Rp 241,2 juta di tahun 2021," pungkasnya. (mid/diy)