Satu-satunya Disabilitas yang Lolos Seleksi Inkubasi Nasional Scene 2021
Abdul Majid (35) warga asal Tanggulangin, Sidoarjo berhasil menjadi salah satu dari 14 peserta terpilih dalam Inkubasi Nasional Scene 2021, Masterclass Pengembangan Skenario Film yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sidoarjo, HARIAN BANGSA.net - Abdul Majid (35) warga asal Tanggulangin, Sidoarjo berhasil menjadi salah satu dari 14 peserta terpilih dalam Inkubasi Nasional Scene 2021, Masterclass Pengembangan Skenario Film yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ajang bergengsi dalam dunia industri film kreatif ini diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah seperti Surabaya, Bandung, Padang dan Makassar.
Bagi Majid, sapaan akrabnya menjadi salah satu bagian dari peserta dalam ajang pengembangan skenario film industri kreatif itu merupakan anugerah yang luar biasa. Sebab, dia harus bersaing dengan 80 peserta dari berbagai daerah di Surabaya, Bandung, Padang dan Makassar.
Meski sempat pesimis nyatanya Majid mampu bersaing dan berhasil lolos dalam seleksi peserta. Bahkan Majid bisa bernafas lega saat diundang untuk mengikuti masa inkubasi dan networking forum yang digelar di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Agustus hingga 3 September 2021.
"Alhamdulillah saya merasa beruntung bisa mengikuti dan lolos dalam seleksi Scene 2021," ungkap Majid, jumat (24/9).
Di sana, Majid tidak hanya bertemu langsung dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Dia juga berkesempatan bertukar pikiran dengan beberapa orang penting lainnya. Seperti Direktur Aplikasi, Permainan, Televisi dan Radio Kementerian Pariwisata dan EkonomI kreatif, Syaifulloh Agam, dan beberapa mentor Scene 2021, yakni Gunawan Pagari, Erick Gunawan, Lintang Pramudia Wardani, Dede Natalia, Lina Arief, dan beberapa alumni Scene 2020.
Sehari-hari, Majid memiliki aktivitas yang sangat padat. Selain membuka usaha kecilan-kecilan di rumah, Majid juga berprofesi menjadi penulis lepas. Hal-hal yang membuatnya tertarik mengikuti kompetisi dalam Masterclass Pengembangan pembuatan skenario film ini, adanya potensi untuk membuat sebuah campaign (kampanye) terkait isu isu disabilitas melalui industri film.
Ya, Majid merupakan seorang penyandang disabilitas netra. Di Sidoarjo sendiri, Majid juga aktif dalam sebuah komunitas penyandang disabilitas bernama Lira Disability Care. Baginya, menyampaikan isu-isu terkait disabilitas sangatlah penting agar keberadaan penyandang disabilitas tidak dianggap sebelah mata.
Lolos dalam seleksi itu, tentu membuatnya semakin mudah dalam menyampaikan sebuah ide dan gagasan. Termasuk kampanye terkait isu isu disabilitas yang selama ini menggandrungi pikirannya. Salah satunya, menginginkan kegiatan inkubasi nasional scene yang diinisiasi oleh Kemenparekraf bisa dilaksanakan dengan secara inklusif.
Sebuah ajang bergengsi dalam pembuatan skenario film ini ternyata inklusif. Peserta yang berjumlah 14 orang dari berbagai perwakilan daerah ini tidak hanya dari kalangan non-disabilitas. "Syukur alhamdulillah, cuma saya satu-satunya peserta disabilitas yang lolos dalam seleksi itu," tambahnya.
Tak hanya itu, panitia juga memberikan berbagai fasilitas yang dibutuhkan peserta disabilitas. Seperti materi yang sudah disesuaikan dengan akses laptop bicara yang dimilikinya. Kedua, dia juga berkesempatan mendapat pemandu atau pembisik profesional yang bertugas mendeskripsikan materi berkonten video.
Tentu hal inilah yang membuatnya kian bersemangat dalam mengikuti pelatihan selama beberapa hari tersebut. Majid sangat mengapresiasi kegiatan yang digelar secara inklusif. Sebab kegiatan tersebut tidak membeda-bedakan antara peserta non disabilitas maupun disabilitas.
Awalnya, pria kelahiran Desa Kedensari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo ini tak pernah menyangka, jika harus menjadi seorang penyandang disabilitas. Dia terlahir normal dan dari sebuah keluarga yang biasa-biasa saja. Majid merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, yakni Vivit Alfiyah (32) dan Alfavina (21).
Tahun 2018 lalu, dia sempat didiagnosis mengalami kebutaan total. Dokter menyebut ada kerusakan syaraf di bagian retina mata. Hal itu yang membuat Majid kian terpuruk (down).
Majid yang biasanya terlihat-lohat biasa biasa saja, akhirnya memutuskan untuk menjauh dari teman-temannya. Bahkan, Majid cenderung menutup diri dari dunia luar. Selama itu, juga dia hanya fokus pada pengobatan dan sering berada dirumah.
Delapan bulan berlalu, Majid mulai membuka hati dan pikiran untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Dia harus kembali melihat masa depan meski terbatas pada penglihatan. Meski dirinya selalu menjauh dari teman-temannya, namun support terus berdatangan agar Majid bisa kembali bangkit. Terlebih keluarga, orang tua, dan adik-adiknya.
"Merekalah yang membuat saya semakin bersemangat dalma menjalani hari-hari," ucapnya.
Mulai saat itulah, Majid memberanikan diri untuk keluar dan beraktivitas kembali seperti biasanya. Meski butuh penyesuaian yang panjang, nyatanya Majid bisa seperti saat sekarang.
Keterbatasan fisik, baginya bukanlah menjadi suatu penghambat untuk meraih prestasi. Selama ini, dia mengandalkan ide dan gagasan serta alat bantu gadget dan laptop bicara untuk menuangkan berbagai ide maupun gagasan dalam pembuatan skenario film.
Dia juga memiliki mentor yang berkualitas untuk menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Tanpa keberadaan mentor baginya tidak akan maksimal. Sehingga ide, gagasan, dan segala macam alat bantu lainnya yang mampu menjadikan dia lebih bersemangat dalam mengampanyekan isu-isu disabilitas melalui industri film kreatif.
"Ke depan, saya berencana untuk berkolaborasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam membuat suatu campaign, yakni membangun ekosistem pariwisata inklusif di Indonesia," pungkasnya.(cat/rd)