Semangat Baru, Harapan Baru dari Tanah Bumi Semeru Damai
SORE ITU, Sabtu Wage, 4 Desember 2021, pukul 15.20 WIB, bloom. Gunung Semeru erupsi. Dahsyat. Langit Lumajang, Blitar dan Malang yang tadinya cerah dan dingin hujan abu, hitam pekat. Udara dingin berubah jadi panas membakar. Jerit tangis, dan kepanikan melanda pendudukn tiga kabupaten yang tinggal di kaki Gunung Semeru. Desa-desa di kecamatan Pronojiwo dan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur jadi yang parah terdampak.
Dua minggu kemudian, Pos Komando (Posko) Tanggap Darurat Erupsi Gunung Semeru mencatat korban meninggal bertambah 1 jiwa sehingga total meninggal dunia akibat erupsi menjadi 51 jiwa, 10.565 jiwa mengusngsi yang tersebar di 410 titik pengungsian. Pengungsian terkonsentrasi di 3 kecamatan, yaitu Pasirian 17 titik dengan 1.746 jiwa, Candipuro 21 titik 4.645 jiwa dan Pronojiwo 8 titik 1.077 jiwa. Tak hanya di Lumajang, pengungsi juga teridentifikasi di Kabupaten Malang 9 titik 341 jiwa, Blitar 1 titik 3 jiwa, Jember 3 titik 13 jiwa dan Probolinggo 1 titik 11 jiwa.
Pasti, sebagian besar dari mereka tak mungkin kembali ke desa asalnya yang sudah luluh lantak. Profesi petani yang sudah mereka jalani turun temurun sudah tidak ada harapan lagi. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa bertani, namun hidup mereka harus tetap berjalan dengan atau tanpa bertani.
Kengan kelam itu masih terasa betul dalam ingatan Abdul Jamil (60) yang hidup sebatang kara tanpa anak istri di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. Kajar Kuning adalah dusun kecil radius terdekat dari kaki gunung Semeru. Hartanya, rumah dan kebun tinggal kenangan. Panik. Bingung. Itulah yang dia alami saat di pengungsian.
“Tangi turu, peteng dedet. Mlayu kabeh. Nemen sorone. Bingung kabeh. Akhire, ngungsi nang Menanggal. Nuwun sewu, koyok celengg kabeh. Klumus kabeh karo awu (Bangun tidur, gelap gulita. Lari semua. Sangat susah. Bingug semua. Akhirnya, mengungsi di Menanggal. Maaf, seperti babi hutan semua. Badan hitam semua kena abu),” kenang Abdul Jamil saat awal terjadinya letusan.
Abdul Jamil bercerita, dulu bekerja sebagai tani. Sekarang ini hanya sebagai buruh tani karena sawahnya sudah tidak ada lagi. Lahan di tempat lain sudah jadi milik orang semua. Meski begitu dia tetap merasa bersyukur karena selamat dari letusan Semeru. Dan kini sudah pindah dari huntara (hunian sementara) ke hunian tetap (huntap). Butuh proses dan waktu untuk bisa menempati huntap.
Abdul Jamil menempati satu rumah petak di antara 1.951 unit bangunan yang ada. Hunian tetap yang diberi nama Bumi Semeru Damai (BSD). Ada harapan baru, semangat baru dari rumah yang dia tempati meski harus mengalami pergeseran nasib. Tanah sawah dan kebun miliknya sudah tidak ada lagi. Dia harus menerima nasib sebagai buruh tani di usia senjanya. Namun bagi dia itu lebih baik daripada tinggal di dusun yang lama, di bawah kaki gunung Semeru.
Kepala Desa Sumbermujur, Yayuk Sri Rahayu, mengatakan pembangunan sebanyak 1.951 huntap BSD oleh kementerian PUPR ini dilakukan di atas lahan kebun cengkeh seluas 80 hektare. Yayuk menjelaskan warga korban APG (awan panas guguran) Semeru yang diterima di tempat tersebut adalah dari Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro.
“Ada pun mereka yang berasal dari Kecamatan Pronojiwo itu adalah Dusun Sumbersari dan Dusun Curah Kobokan. Yang berasal dari Kecamatan Candipuro dari Desa Sumber Wuluh itu Dusun Kajar Kuning, Kebonsari Utara, Kebonsari Selatan, Kamar Kajang, dan Kampung Genteng. Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro juga ada. Jadi tidak full dari Curah Kobokan dan Kajar Kuning,” jelasnya.
Perlu dicatat, erupsi gunung Semeru tidak hanya sekali itu saja. Erupsi terjadi berkali-kali dan setiap saat tanpa kompromi. Hampir setiap tahun terjadi erupsi meski dalam sekala kecil, namun tetap perlu diwaspadai. Artinya, warga yang tinggal di kaki gunung Semru bisa dipastikan selalu was-was.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jawa Timur, Dadang Iqwandy, mengatakan Lumajang dan Malang menjadi dua daerah yang berada di lingkar gunung Semeru. Bencana akibat erupsi Semeru menjadi bencana yang dominan di Jatim, sehingga dibutuhkan upaya mitigasi bencana pada masyarakat dan juga semua stakeholder.
Potensi bencana yang cukup besar gunung Semeru ini tidak lepas dari karakter khusus yang dimiliki Semeru yang berbeda dengan karakter gunung-gunung lainnya. Karakter khusus ini terjadi karena kantong magma gunung Semeru yang kecil, sehingga berpotensi terjadi erupsi setiap hari. Berbeda dengan gunung Kelut yang kantong magmanya besar, sehingga untuk penuh itu menunggu puluhan tahun bahkan ratusan tahun.
“Kantong magma itu menentukan karakter itu tadi, Kelud itu magmanya besar sehingga tipikal erupsinya galak. Kalau erupsi, abunya bisa sampai ke Bogor, Jogja luluh lantak. Sedangkan Semeru karena kantong magmanya kecil, dia erupsi tiap hari, mengeluarkan material tiap hari. Makanya Semeru itu oleh orang-orang disebut sebagai ibunya para gunung,” papar Dadang.
Selain punya kantong magma yang kecil, gunung Semeru juga punya bukaan atau mulut kawah yang ada di sebelah tenggara. Selain itu, Semeru juga tidak punya kaldera seperti Bromo, sehingga Bromo kalau erupsi laharnya tidak ke mana-mana, hanya di kalderanya. Sedangkan, Semeru bisa mengeluarkan lahar atau material.
“Bahkan setelah kejadian 2021 kemarin jika dibandingkan 2012, 2017, 2018, bukaannya makin melebar, dan nanti jalurnya akan berputar searah jarum jam, tenggara, selatan terus ke barat. Bisa jadi nanti suatu saat bukaanya malah ke utara muter terus, itu secara teorinya, tapi kapan berubahnya tidak tahu kita,” sambungnya.
Keadaan bukaan yang semakin lebar inilah yang kemudian tercatat erupsi terjadi setiap tahun. Bahkan dari history yang ada erupsi terjadi tanggal 4 Desember 2021, 4 Desember 2022. Kondisi inilah yang membuat BPBD Jatim rapat kesiapsiagaan menjelang bulan Desember.
Kolaborasi Kekuatan Lintas Sektor
Penanganan darurat bencana tidak bisa hanya dilakukan pemkab maupun pemprov saja. Butuh kolaborasi semua sekotral vertikal maupun horizontal untuk mengatasinya baik sebelum, saat terjadi bencana, hingga sesudah terjadi bencana. Semua sektor memiliki peran masing-masing untuk berkerja sama.
Dadang Iqwandy menandaskan, penanggulan setiap bencana tidak hanya dalam fase darurat saja, justru fase yang panjang adalah fase pra bencana dan pascabencana. Fase darurat hanya 14 hari, kalau diperpanjang paling 30 hari. Sedangkan pada fase pasca bencana akan berlanjut pada proses mitigasi. Fase pascabencana ini mulai dari pemenuhan kebutuhan logistik, pembangunan infrastruktur, pemulihan pascabencana, pemasangan rambu, hingga pembentukan desa tangguh bencana termasuk destana ciri khas Semeru.
Jalan baru menuju masa depan yang lebih baik, aman, tenang dan damai.
Kemudian juga memasukkan kegiatan satuan pendidikan ramah bencana di sekolah-sekolah kawasan lingkar semeru juga. Sehingga sekolah sekolah memahami kesiapsiagaan menghadapi bencana, jadi tidak hanya desanya saja, tapi sekolah juga, meskipun sekolah yang disasar adalah level SMK. Selain itu juga masuk ke pesantren. Berdasarkan SK Gubernur Jatim setidaknya ada 6.800 pondok pesantren yang harus ditangguhkan.
Dadang menegaskan, untuk menjalankan itu semua butuh kolaborasi seluruh stakeholder terkait mulai dari Dinsos terkait dengan peralatan dapur umumnya hingga mobil rescue. Kemudian dari BPBD, TNI, Polri, termasuk jurnalis.
“Terus terang kami bersyukur, sekarang di pemerintah urusan bencana diurusi banyak OPD, seperti Biro Kesra, Bapeda, Biro Humas Protokol juga mengangkat isu isu kebencanaan,” kata Dadang.
Dada kemudian menyontohkan, bencana gunung Semeru baik yang terjadi pada 2021 maupun 2022 langsung mendapat reaksi cepat dari berbagai pihak mulai dari Pemkab Lumajang, Pemprov Jatim, hingga pemerintah pusat, serta dari berbagai pihak lainnya. Mereka bersinergi mengatasi masalah para penyintas Semeru, seperti rasa trauma, tidak adanya tempat tinggal karena rumah rusak, pendidikan anak-anak, hingga masalah sandang pangan lainnya.
Dadang menyebut, di antara yang pernah turun untuk memberikan trauma healing kepada pengungsi bencana APG Gunung Semeru khususnya anak-anak adalah dari Perempuan Bangsa.
Trauma healing itu dilakukan di Pondok Pesantren Ulul Albab di Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur pada 12 Desember 2021. Trauma healing yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang (UNM) ini untuk mengatasi trauma berat anak-anak yang mengungsi. Psikososial berupa Trauma Healing LDP itu memberikan sejumlah penguatan, pendampingan dan dukungan yang dapat mempengaruhi individu dan lingkungan sosial demi mewujudkan slogan build back better.
Bidang administrasi pun juga berperan penting dalam penanganan pascabencana. Relawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Provinsi Jatim bergabung memberikan trauma healing bagi masyarakat terdampak bencana dengan melibatkan serangkaian kegiatan.
Seperti memberikan hiburan edukatif melalui mendongeng dengan cerita yang diambil dari buku bacaan, bermain, dan bernyanyi bersama. Bahkan, mencoba mengembalikan lagi dokumen kelurahan yang rusak akibat terkena bencana. Dokumen seperti tanah, sertifikat dan administrasi kependudukan dipulihkan dengan menggunakan teknologi dari Jepang. Teknologi berupa kertas tisu yang bisa mengembalikan dengan teknik laminasi dengan harga Rp 10 juta per rol untuk 200 lembar.
“Dengan teknik ini kerusakan dokumen bisa dipulihkan kembali,” kata Pustakawan Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jatim, Wempi Roberto Goa.
Yang tak kalah pentingnya ialah membentuk masyarakat atau warga yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana, mengenal, menyatu dengan alam, sehingga benar-benar memahami apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana. Pendidikan bisa diberikan secara individu pada siswa sejak dini, maupun dengan menggalakkan secara bekala desa tangguh bencana. Pendidikan kebencanaan ini mutral harus diberikan pada warga yang tinggal di daerah rawan.
Kasubid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lumajang, Armi Najmi menjaskan bahwa telah membentuk desa tangguh bencana. Di antaranya di Sumber Wuluh pada 2021, di Sumbermujur dan Penanggal pada 2022, dan di Supiturang pada 2022.
“Sebelum itu kita sudah sering mengadakan sosialisasi kesiapsiagaan. Sekarang ini, kita juga sering mengadakan sosialisasi dan simulasi terkait erupsi gunung Semeru. Namun, untuk mengadakan simulasi itu ngelus dulu, karena warga merasa kalau ada simulasi pasti ada erupsi, gitu. Padahal kita harus latihan untuk kesiapsigaan,” terangnya.
Langkah lain adalah dengan datang ke sekolah-sekolah untuk memberikan pengetahuan pada siswa apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana seperti erupsi dan gempa bumi. Bahkan, dari PAUD sampai SMA di Candipuro sudah masuk satuan pendidikan aman bencana. Peran relawan bencana yang ada di desa juga cukup penting. Relawan yang berasal dari warga desa ini kerap kali memberikan pengetahuan pada warga akan tanda-tanda terjadinya erupsi Semeru, sehingga warga menjadi lebih waspada.
Semua orang tidak ada yang mau tertimpa bencana, namun semua orang harus siap tertimpa bencana karena bencana datang tidak dengan permisi. (Devi Fitri Afriyanti)