SETARA Institute Mengutuk Keras Penyerangan Mapolsek Ciracas

Pada tengah malam, Jumat (28/8), Mapolsek) Ciracas menjadi sasaran penyerangan sekelompok pengacau. Berdasar kronologi serta berbagai kesaksian masyarakat, diduga diidentifikasi sebagai oknum anggota TNI.

SETARA Institute Mengutuk Keras Penyerangan Mapolsek Ciracas
Ketua SETARA Institute Hendardi.

Jakarta, HARIAN BANGSA.net - Pada tengah malam, Jumat (28/8), Mapolsek) Ciracas menjadi sasaran penyerangan sekelompok pengacau. Berdasar kronologi serta berbagai kesaksian masyarakat, diduga diidentifikasi sebagai oknum anggota TNI.

Seratus lebih orang dengan mengendarai sepeda motor membakar mobil, motor, dan menganiaya petugas yang sedang piket di mapolsek. Sebelum menyerang Mapolsek Ciracas, gerombolan yang sama melakukan perusakan di Pasar Rebo. Mereka menganiaya dan melukai warga sipil.

Gerombolan juga melakukan razia, perusakan kendaraan, disertai pemukulan terhadap warga pengguna jalan raya di Jalan Raya Bogor dari arah Cibubur sebelum mapolsek.

SETARA Institute mengutuk keras tindakan brutal yang dipertontonkan sejumlah orang. Perilaku mereka merupakan kebiadaban terhadap aparat keamanan negara dan warga sipil.

Tindakan melawan hukum dan main hakim sendiri yang dipertontonkan, jelas mengganggu tertib sosial dalam negara demokrasi dan negara hukum. Mereka juga merusak dan mengancam keselamatan masyarakat, utamanya warga sipil.

“Jika benar oknum TNI terlibat dalam peragaan kekerasan ini, maka berulangnya peristiwa kekerasan yang diperagakan oleh sejumlah oknum TNI. Salah satunya disebabkan karena terlalu lama menikmati keistimewaan dan kemewahan (previlege) hukum, karena anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum,” ungkap Ketua SETARA Institute Hendardi dalam siaran persnya, Sabtu (29/8).

Menurutnya, reformasi TNI juga tampak hanya bergerak di sebagian atas struktural, tetapi tidak menyentuh dimensi kultural dan perilaku anggota. Kemandekan reformasi TNI, telah menjadikan anggota TNI imun dan terus merasa supreme menjadi warga negara kelas 1.

“Previlege dan imunitas yang sama juga akan terjadi ketika TNI melalui Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme jadi disahkan oleh Presiden Jokowi,” jelas Hendardi.

Tidak bisa dibayangkan, lanjutnya, atas nama memberantas terorisme, kebiadaban dan unprofessional conduct seperti diperagakan dalam peristiwa terbaru ini, akan menjadi pemandangan rutin dan dianggap benar oleh peraturan perundang-undangan. Performa penanganan tindak pidana terorisme akan bergeser menjadi peragaan anarkisme kelompok yang dilegitimasi hukum tanpa mekanisme akuntabilitas yang adil.

Tidak ada pilihan lain bagi aparat hukum untuk mengusut tuntas kekerasan dan kebiadaan pada Jumat (28/8) itu. Termasuk kemungkinan meminta pertanggungjawaban oknum TNI jika terlibat.

“Tidak boleh muncul kesan dari institusi dan pihak manapun untuk memaklumi. Apalagi melindungi perilaku biadab yang dipertontonkan secara terbuka tersebut. Rule of law harus menjadi panglima untuk mewujudkan tertib hukum dan tertib sosial,” ungkap pria ini.

Presiden Jokowi dituntut untuk kembali mendorong gerbong reformasi TNI yang menunjukkan arus balik. Termasuk membatalkan rencana pengesahan RPerpres Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme dan memprakarsai revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dengan agenda utama memastikan kesetaraan di muka hukum.

“Bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, sebagaimana umumnya anggota masyarakat lain,” pungkas Hendardi.(rd)