Menolak Militerisasi, Menjamin Kebebasan Akademik di Kampus
Kementerian Pertahanan (Kemhan) tengah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Jakarta, HARIAN BANGSA.net - Kementerian Pertahanan (Kemhan) tengah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kerja sama tersebut dimaksudkan guna merekrut mahasiswa untuk terlibat dalam latihan militer melalui Program Bela Negara.
Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono, pendidikan militer tersebut diikuti dalam satu semester. Nilainya dimasukkan ke dalam Satuan Kredit Semester (SKS) yang diambil mahasiswa. (CNNIndonesia.com, Minggu, 16/8).
Wakil Menteri Pertahanan juga menjelaskan bahwa kerja sama tersebut merupakan upaya pemerintah agar generasi milenial tak hanya hanya kreatif dan inovatif, tetapi juga cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, kecintaan generasi milenial terhadap negara juga bisa ditunjukkan dengan bergabung dalam komponen cadangan (Komcad). Seperti yang diamanatkan UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).
Wacana kerja sama ini mempertunjukkan pertama, Kemendikbud yang dipimpin Nadiem Makarim, gagal paham dalam melihat kebutuhan dan prioritas dunia pendidikan.
“Dengan sejumlah persoalan beberapa waktu ke belakang yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan akademik kampus, alih-alih menjamin kebebasan mimbar akademik kampus, Kemendikbud malah mengafirmasi militerisasi sektor pendidikan. Hal ini juga bertentangan dengan napas Kampus Merdeka yang digagas Nadiem,” ungkap Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie, Senin (24/8) dalam siaran persnya.
Kedua, lanjut Ikhsan Yosarie, terjadinya militerisasi sektor pendidikan, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Pada Juni 2019 lalu, Kemendikbud juga telah menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membina para peserta didik baru yang difokuskan pada karakter nasionalisme siswa dengan materi mengacu pada Kemendikbud.
Karakter utama yang diajarkan mengenai nasionalisme yang bertujuan untuk menangkal paham radikalisme di kalangan siswa yang akan dilaksanakan pada masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) mulai jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Ketiga, secara lebih spesifik juga terjadi militerisasi Program Bela Negara dan makna nasionalisme. Padahal pasal 6 ayat (2) UU PSDN menyebutkan salah satu keikutsertaan warga negara dalam upaya Bela Negara dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesi. Mengapa bentuk bela negara bagi dunia kampus yang dicanangkan bersifat militeristik? Hal ini tentu tidak relevan, karena seharusnya yang dicanangkan adalah pengabdian sesuai dengan profesi.
“Dalam konteks nasionalisme, apa yang disampaikan Wakil Menteri Pertahanan bahwa kerja sama tersebut agar generasi milenial juga cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari, telah mempersempit makna nasionalisme, bahwa seolah-olah nasionalisme tinggi hanya dimiliki oleh militer. Padahal, pemahaman dan penerapan nasionalisme akan beragam sesuai dengan bidang masing-masing,” jelas Ikhsan Yosarie.
Dan keempat, kerja sama tersebut juga berpotensi semakin memperluas peran militer dalam ranah sipil. Pasalnya, tentu yang akan menjadi instruktur dalam pelatihan militer di kampus tersebut adalah TNI aktif. Persoalan ini berefek domino kepada ketidakterpenuhan ihwal kebijakan dan keputusan politik negara, sebagai landasan perbantuan TNI seperti yang diatur pada pasal 5 dan pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Upaya-upaya untuk melibatkan TNI untuk tugas-tugas di luar tupoksi utamanya, tentu memiliki aturan main yang harus ditaati. Namun, pada pasal 7 ayat (2) UU TNI, dari 14 item yang termasuk dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), tidak ada satu pun poin yang menyebut sektor pendidikan atau pun sekadar berkaitan dengan sektor pendidikan menjadi bagian dari OMSP.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menyatakan, atas dasar itu, pihaknya menyampaikan pendapat sebagai berikut:
1.Kemdikbud seharusnya menjamin kebebasan mimbar akademik kampus yang terbungkam beberapa waktu belakangan ini, ketimbang mengafirmasi militerisasi sektor pendidikan.
2.Cara menangkal intoleransi dan radikalisme di lingkungan perguruan tinggi harus dilakukan dengan cara-cara yang inklusif dan demokratis yang menghargai kebebasan akademik kampus.
3.Mengingat kampus merupakan dunia akademik yang nantinya akan melahirkan pelbagai profesi, Program Bela Negara di kampus seharusnya diarahkan kepada pengabdian sesuai dengan profesi. Pengabdian sesuai dengan profesi juga termasuk salah satu bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya bela egara seperti yang disebutkan pasal 6 ayat (2) UU PSDN.
4.Presiden perlu mengevaluasi kinerja kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI. Beberapa kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil. Bahkan kementerian yang lingkup kerjanya di luar OMSP dan jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI.
5.DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI. Terutama dalam hal keterlibatan DPR dalam kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI.
6.Pemerintahan sipil seharusnya turut memastikan profesionalitas alat negara (TNI-Polri) dengan tidak memberikan jabatan-jabatan sipil tertentu dan/atau membuka kerja sama-kerja sama di luar pengaturan perundang-undangan.
“Reformasi TNI dan Polri harus berjalan dua arah atau timbal balik: TNI-Polri fokus melakukan reformasi, sementara presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat Konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” pungkas Bonar Tigor Naipospos.(rd)