Merasa Menjadi Korban Mafia Tanah, Warga Glenmore Cari Keadilan

Kuasa Hukum keluarga Fiftiya, Budi Hariyanto S.H., mengatakan, dugaan praktik mafia tanah yang menimpa kliennya tersebut bermula dari salah satu anggota keluarga bernama Sumarah, menggadaikan sertifikat pada GS pada 2018.

Merasa Menjadi Korban Mafia Tanah, Warga Glenmore Cari Keadilan
Salah satu korban mahfia tanah.

Banyuwangi, HB.net - Fiftiya Aprialin warga Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, beserta keluarganya merasa menjadi korban mafia tanah. Berawal dari hutang ratusan juta, aset tanah warisan milik keluarga besar Fiftiya seluas 4,5 hektar senilai Rp 6 miliar, kini dikuasai orang lain. Nama kepemilikan sertifikat pun tiba-tiba berubah.

Kuasa Hukum keluarga Fiftiya, Budi Hariyanto S.H.,  mengatakan, dugaan praktik mafia tanah yang menimpa kliennya tersebut bermula dari salah satu anggota keluarga bernama Sumarah, menggadaikan sertifikat pada GS pada 2018.

 “Tanpa sepengetahuan pemilik, sejumlah sertifikat tersebut diambil, kemudian menjadi hutang atau tanggungan pemilik sertifikat,” kata Budi, kepada wartawan Rabu (8/6/2022).

Hutang piutang tersebut berbuah gugatan melalui Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi. Gugatan tersebut berujung mediasi dengan menghasilkan Surat Perjanjian Perdamaian Bersama antara Fiftiya dan keluarga dengan GS, tertanggal 29 Nopember 2018.

"Salah satu isinya, Fiftiya sekeluarga harus membayar piutang sebesar Rp 958 Juta selambat-lambatnya 29 Januari 2019. Jika tidak, tanah tersebut bisa dialihkan GS," ujar Budi.

Sayangnya, ketika keluarga kliennya telah membawakan uang pelunasan sebelum batas waktu yang disepakati, GS diduga tidak memiliki itikad baik. Dia selalu tidak hadir, meski PA Banyuwangi telah memanggilnya beberapa kali. "Hingga melewati batas jatuh tempo yang telah disepakati," ujar Budi.

Dugaan praktik mafia tanah inipun tampak terlihat ketika PA Banyuwangi menganggap uang pembayaran yang telah dibawa dalam proses perdamaian tidak ada, bahkan terkesan berat sebelah. Parahnya lagi, PA Banyuwangi juga menerbitkan surat perintah eksekusi.

“Padahal pihak PA Banyuwangi tahu dan melihat bahwa klien kami telah beriktikad baik dengan menyiapkan uang pembayaran,” ungkap pengacara asal Jember ini.

Keputusan PA dianggap janggal. GS yang diduga tidak mematuhi surat perjanjian perdamaian justru dimenangkan. "Kasus yang menimpa klien kami ini, termasuk praktik dugaan mafia tanah yang dibungkus dengan cara legal karena ada oknum (peradilan) tadi," tegas Budi.

Demi memperjuangkan hak tanah warisan yang kini telah dikuasai orang lain, Fiftiya sekeluarga berupaya mencari keadilan kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Humas PA Banyuwangi, Zaenal Arifin, mengatakan, mereka bisa banding jika tidak puas dengan keputusan. Sedangkan yang tidak puas terhadap hakim atau panitera bisa bersurat ke Badan Pengawas MA.

Sementara itu, saat ini Harian Bangsa mengkonfirmasi GS. Pihak tidak menjawab. Masyarakat berharap kepedulian dan kehadiran pemerintah, sehingga kasus serupa tidak terus terjadi. (guh/diy)