Pakar ITS Ungkap Kaitan Blending dan RON dengan Kualitas Bahan Bakar
Praktik blending atau pencampuran bensin yang sedang menjadi sorotan saat ini mengundang banyak pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas bahan bakar tersebut dan pengaruhnya terhadap performa mesin kendaraan.

Surabaya, HARIANBANGSA.net - Praktik blending atau pencampuran bensin yang sedang menjadi sorotan saat ini mengundang banyak pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas bahan bakar tersebut dan pengaruhnya terhadap performa mesin kendaraan. Salah satu indikator penting yang kerap didengar namun jarang dipahami adalah tentang Research Octane Number (RON).
Salah satu guru besar Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Hendro Juwono menjelaskan bahwa RON atau bilangan oktan merupakan ukuran ketahanan bahan bakar terhadap ketukan mesin. Bahan bakar yang kurang tahan akan mengalami peristiwa knocking, yakni kondisi ketika bahan bakar terbakar sebelum waktunya akibat tekanan tinggi di ruang bakar.
Lebih lanjut, Hendro memaparkan bahwa bahan bakar umumnya mengandung senyawa oktana (C8), tetapi tak harus C8 murni. Komponen hidrokarbon penyusun bahan bakar yang bervariasi, mulai dari C7 hingga C9, dapat memengaruhi RON. Bukan hanya itu, struktur rantai karbon yang bervariasi, baik rantai lurus atau n-oktana maupun bercabang atau iso-oktana, turut memiliki andil dalam tingkat RON. "Semakin banyak senyawa bercabang seperti iso-oktana, maka semakin tinggi pula RON bensin tersebut,” ungkapnya.
Dalam proses pencampuran bahan bakar, prinsip ini menjadi krusial. Profesor ke-212 ITS tersebut menerangkan bahwa RON akhir suatu bahan bakar tergantung pada komposisi hidrokarbon yang dicampurkan atau yang disebut blending. Blending dilakukan dengan mengombinasikan fraksi ringan seperti C8, yang digunakan untuk bensin, dengan fraksi lainnya seperti C7 atau C9.
Hendro menyampaikan bahwa secara ilmiah blending bensin atau pencampuran bahan bakar itu memungkinkan dan sah dilakukan. Ia menyebutkan bahwa pencampuran RON tertentu bisa dilakukan untuk mencapai nilai oktan yang diinginkan selama prosesnya mengikuti prinsip-prinsip kimia yang tepat dan memenuhi standar. “Kalau campurannya berlebihan atau asal-asalan, dampaknya memang tidak langsung terlihat, tapi dalam jangka panjang, performa mesin pasti menurun,” ujarnya.
Dalam mencapai nilai RON tertentu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, salah satunya dengan menambah zat aditif. Menurut lelaki kelahiran 6 Juni 1961 tersebut, zat aditif bisa digunakan untuk meningkatkan ketahanan bensin terhadap ketukan mesin, sehingga pembakaran bisa berlangsung lebih stabil. Beberapa zat aditif umum yang biasa digunakan meliputi metil tersier butil eter (MTBE) dan toluena.
Secara angka, RON bisa mencapai nilai tertentu melalui penambahan zat aditif atau proses blending. Namun perlu dipahami, angka RON yang sama tidak selalu mencerminkan kualitas pembakaran. Performa akhir bahan bakar tetap bergantung pada komponen penyusunnya, seperti jenis hidrokarbon dan struktur kimia di dalamnya. "Meskipun bensin memiliki RON tinggi, campuran yang tidak seimbang bisa menyebabkan pembakaran tidak efisien dan merusak mesin," ujarnya.
Tak hanya itu, Hendro juga menyoroti pentingnya masyarakat untuk memahami bahwa pemilihan bahan bakar, termasuk angka RON, sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan kendaraan. Setiap mesin memiliki rasio kompresi yang berbeda, sehingga tidak selalu membutuhkan bensin ber-RON tinggi. "Jika mesin berkompresi tinggi diberi RON rendah dapat merusak mesin, begitupun sebaliknya," terangnya.
Dalam hal ini, Hendro menyampaikan harapannya agar masyarakat bisa meningkatkan pemahamannya tentang blending bensin dan RON, agar tidak terjadi kekeliruan. Dengan literasi yang baik, diharapkan masyarakat mampu memilih bahan bakar yang sesuai kebutuhan mesin, sehingga performa kendaraan tetap optimal dan penggunaan energi menjadi lebih efisien.(rd)