Utang Piutang Bisnis Telur Jadi Kasus Pidana
Terdakwa Muhammad Maulvi Haidar Banna alias Haidar melalui kuasa hukumnya, Hadi Salim, mengaku keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap kliennya.
Sidoarjo, HARIAN BANGSA.net - Terdakwa Muhammad Maulvi Haidar Banna alias Haidar melalui kuasa hukumnya, Hadi Salim, mengaku keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap kliennya. Dia didakwa melanggar pasal 374 dan 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Padahal, menurutnya, perkara tersebut merupakan perkara perdata alias utang piutang.
Hal itu disampaikan kuasa hukum Haidar Hadi Salim dalam sidang lanjutan pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dalam sidang eksepsi tersebut diketuai Majelis Hakim PN Sidoarjo, Haryanto.
Menurut Hadi Salim, ada beberapa poin yang menjadi materi dalam eksepsinya. Pertama, apa yang dilakukan kliennya merupakan perkara utang piutang alias perdata antara saksi korban, yakni PT. Sreeya Sewu Indonesia dengan CV. Anugerah Farm Madiun, yakni Yusak Dwi Prasetyo.
Pasalnya, CV Anugrah Farm Madiun telah melakukan pembelian pakan ternak ayam kepada saksi korban dengan menggunakan DO atas nama Cahaya Baru Farm; Kamiran dan Kelompok Ternak Madiun; Suryati.
"Dan pembelian itu sebenarnya sudah berlangsung sejak Maret 2020 sampai dengan bulan November 2020 dengan jumlah pembelian sebesar Rp12,65 miliar," jelas Hadi Salim kepada wartawan usai sidang, Kamis, (18/3).
Dalam proses pembelian pakan ternak yang dilakukan CV. Anugerah Farm Madiun kepada PT. Sreeya Sewu Indonesia, kliennya saat itu yang menjadi sales dari PT. Sreeya Sewu Indonesia. Dia melakukan transaksi penjualan menggunakan akun DO Suryati sejak tanggal 2 Januari 2020, sampai dengan tanggal 13 November sebanyak 151 invoice tonase 1.375.650 kilogram dengan nilai Rp.8.909.667.500 (Rp 8,9 miliar).
"Haidar (klien) juga melakukan penjualan menggunakan akun Cahaya Baru Farm sejak tanggal 6 Januari hingga Nopember 2020, sebanyak 158 invoice tonase sebanyak 1.292.250 kilogram dengan nilai uang Rp. 8.330.237.500 (8,3 miliar)," jelasnya.Jumat (19/3)
Selain itu, penangkapan terhadap kliennya tidak berdasarkan KUHAP. Bahwa penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian seharusnya memperlihatkan surat tugas dan memberikan tersangka surat perintah penangkapan. Di sisi lain, sebelum dilakukan penangkapan, terdakwa disekap di pabrik PT. Sreeya Sewu Indonesia selama empat hari sejak 18 hingga 22 Desember 2020. Dan esok harinya langsung dibawa polisi ke Mapolsek Wonoayu.
"Penyekapan jelas sekali melanggar hak azasi dan pelanggaran HAM. Dan surat perintah penangkapan baru diserahkan kepada terdakwa setelah diperiksa di Polsek Wonoayu. Dengan demikian penangkapan tidak sah sebagaimana pasal 18 ayat (1) KUHAP," terangnya.(cat/rd)